Tanggapan Kritis
A. Kritik bagi Augustinus
1. Dalam menguraikan pandangan filosofisnya Augustinus lebih cenderung berperan sebagai seorang teolog Katolik. Ia lebih bergulat dengan kebenaran-kebenaran Kitab Suci dan Wahyu-Wahyu Allah dari pada bergulat dengan realitas-relitas sosio-politis.
2. Bagi Augustinus keadilan adalah relasi kasih antara manusia dan juga dengan Tuhan, dan tanpa keadilan ini tidak ada negara. Namun ternyata definisi ini tidak seketat yang dibayangkan, terdapat suatu inkonsistensi dalam pemikirannya. Sebab Augustinus di satu pihak menekankan relasi yang penuh kasih, namun dipihak lain ia melegalkan kekerasan oleh negara dengan alasan apapun jua, ia juga menerima adanya hukuman mati, bahkan baginya perdamaian dan keadilan dalam negara dunia tentunya, hanya bisa terwujud melalui peperangan dan kekerasan. Ini berarti adanya negara (dunia) hhadir karena kondisi keberdosaan manusia. Penulis merasakan bahwa definisi keadilan bagi Negara Allah ternyata berbeda dengan definisi keadilan bagi Negara Dunia.
3. Bagi Augustinus suatu negara disebut negara jika ia teokrasi, pandangan ini dari sudut pandang pluralis adalah tidak adil, bagaimana dengan mereka yang atheis.
4. Pandangan Augustinus ini dapat digunakan untuk melegalkan kekerasan dan anarkisme. Augustinus berpendapat bahwa perdamaian dan keadilan hanya bisa dicapai melalui peperangan dan kekerasan.
B. Konteks Kekinian
1. Negara-negara seperti Indonesia, Jerman, Amerika Serikat, Arab Saudi, Mesir dan sebagainya; bagi Augustinus termasuk negara dunia. Negara-negara itu semu, tidak abadi, dan karena itu segala kebaikan dan keadilan yang ada padanya juga semu dan tidak sejati.
2. Dengan menjelaskan dan menguraikan secara filosofis-teologis bahwa suatu negara hanya dapat berdiri jika keadilan, maka Augustinus telah memberikan suatu penegasan dan daya dorong bagi para aktivis dan pejuang HAM untuk terus-menerus menyuarakan penegakan keadilan bagi negara yang masih melecehkannya.
3. Keadilan Augustinus adalah keadilan universal dan abadi. Keadilannya tidak hanya terbatas diperuntukan bagi orang-orang kristiani, melainkan bagi semua orang di mana pun ia berada.
eBook Berkualitas di Seluruh Dunia, Murah bahkan Gratiss....Bisa dijual Kembali!!!
berwarna pink di atas ini.
Ini contoh recehan dollarnya...
AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00
Hello Rakadewa,
chen zirong just sent you money with PayPal.
Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30
Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.
Thursday, December 17, 2009
Keadilan Sebagai Pengada Mutlak bagi Eksistensi Negara Sebuah Gugatan Aurelius Augustinus (354 – 430 M) terhadap Eksistensi Negara (3)
Keadilan Sebagai Pengada Mutlak bagi Eksistensi Negara Sebuah Gugatan Aurelius Augustinus (354 – 430 M) terhadap Eksistensi Negara (2)
Ada Negara Niscaya Ada Keadilan – Tanpa Keadilan Niscaya Tidak Ada Negara
A. Konsep Dasar Augustinus tentang Keadilan
1. Cicero:
Menurut Cicero, dalam bukunya De Republica, negara merupakan hal rakyat yang dipahaminya sebagai sebuah komunitas manusia-manusia yang terikat satu sama lain melalui kesamaan hukum. Nah, kesamaan di hadapan hukum itulah yang disebutnya sebagai Keadilan. Tanpa keadilan sebuah negara tak bisa dipimpin. Karena di mana tidak ada keadilan sejati, juga tidak akan ada hukum. Dengan demikian juga, menurut definisi Cicero, juga tidak dapat ada sebuah rakyat. Maka terbuktilah bahwa di mana tidak ada keadilan, di situ juga tak ada negara.
2. Plato:
Bagi Plato suatu negara (macro-anthropos) hadir karena adanya kerjasama yang harmonis antara manusia-manusia individu, dalam memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Para manusia itu terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas emas, kelas perak, dan kelas besi. Suatu negara akan berdiri jika terdapat relasi yang harmonis antar 3 kelas ini. Bagi Plato keadilan itu adalah jika setiap manusia menjalankan fungsinya masing-masing berdasarkan kelasnya, jika fungsi itu dijalankan secara tepat dan harmonis maka terbentuklah suatu negara.
3. Augustinus:
Konsep Augustinus perihal terbentuknya negara tidak terlepas dari pengaruh kedua tokoh di atas. Pemahamannya sama yaitu bahwa keadilanlah yang menjadi faktor utama dari ada tidaknya suatu negara. Namun ketiganya memiliki perbedaan dalam mendefinisikan apa itu keadilan. Berbeda dengan Cicero, keadilan menurut Augustinus hampir mirip dengan keadilan menurut Plato, namun Augustinus menolak adanya pembagian kategori kelas seperti yang dilakukan oleh Plato. Bagi Augustinus keadilan memang suatu relasi yang harmonis antarmanusia baik secara kolektif maupun personal, namun relasi itu haruslah dipenuhi dengan kasih dan relasi itu bukan hanya meliputi antarmanusia melainkan segenap ciptaan dan Sang Pencipta itu sendiri. Inilah yang khas dari definisi keadilan Augustinus.
B. Keadilan Syarat Mutlak Adanya Negara
Keadilan adalah satu-satunya ikatan yang mempersatukan manusia sebagai ‘populas’ sejati. Tanpa keadilan, negara tidak lebih dari kumpulan para bandit. Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan yang holistik, artinya tidak ada keadilan kolektif jika tidak ada keadilan personal.
Kebenaran yang sesungguhnya pasti dialirkan dari mata air keadilan. Kebenaran pada hakikatnya serasi dengan keadilan, dan selalu mengandaikan satu dengan yang lainnya. Cinta kasihlah yang menjadi basis utama adanya keadilan dan kebenaran. Itu berarti Allahlah yang menjadi sumber satu-satunya kebenaran dan keadilan sebab Ia adalah Kasih itu sendiri.
Keadilan merupakan syarat mutlak bagi keberadaan negara, sebab negara merupakan relasi yang harmonis antarmanusia, baik secara pribadi maupun secara kolektif dengan Allah yang adalah Kasih itu sendiri. Dengan demikian tanpa keadilan sebagaimana yang dipahami oleh Augustinus, tiadalah apa yang disebut sebagai negara itu.
Keadilan Sebagai Pengada Mutlak bagi Eksistensi Negara Sebuah Gugatan Aurelius Augustinus (354 – 430 M) terhadap Eksistensi Negara (1)
Letak Konsep Keadilan Dalam Pemikiran Umum Augustinus
A. Latar Belakang
Tema yang diangkat oleh penulis merupakan salah satu tema yang diuraikan oleh Augustinus dalam salah satu karyanya yang termasyur, yaitu buku “De Civitate Dei”. Karya Augustinus ini, yang dikerjakan pada 413-427 M. Terdiri dari 22 buku. Berisikan pembelaan terhadap ajaran Kristen yang sedang diserang oleh orang-orang kafir pada saat itu. Hal ini dilatarbelakngi dua peristiwa yang mengguncang imperium Romawi :
- Agama Kristen diresmikan menjadi agama negara oleh Kaisar Theodosius (393M), dan akhirnya,
- Kejatuhan Roma ke tangan Bangsa Visigoth, Raja Alarik (410M)
Kejatuhan Roma menimbulkan tuduhan negatif rakyat dan sebagian penguasa imperium terhadap agama Kristen. Kekristenanlah yang menyebabkan kekaisaran Romawi kehilangan kejayaan dan kewibawaannya. Dipercaya bahwa dewa-dewa Romawi marah dan mengutuk bangsa romawi, karena merasa dihianati dengan diterima agama Kristen menjadi agama resmi. Untuk itu maka agama Kristen perlu dienyahkan agar kutukan tersebut lenyap.
B. De Civitate Dei: Dua Kota yang bertolakbelakang, namun ada bersama
1. Civitas Dei (Negara Tuhan): Segalanya yang baik:
• Ditandai oleh iman, ketaatan dan kasih Allah
• Menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas terpuji, seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, keindahan, kesetiaan, dll
2. Civitas Terrena (Negara Dunia): Penuh keburukan, namun ada juga kebaikan walaupun semu
• Ditandai oleh dosa, keangkuhan dan cinta yang egois
• Manifestasi dari kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, kemaksiatan, keburukan, kejahatan, dll
• Bertujuan semata-mata demi kebahagiaan fisik, menumpuk harta kekayaan dan pengumbaran nafsu hewani, gila hormat dan kekuasaan yang menimbulkan pertikaian dan malapetaka
C. Tentang Prinsip dan Nilai Hidup bukan tentang Lembaga atau Organisasi
Saya pribadi melihat bahwa sebenarnya Augustinus tidak bermaksud mempersoalkan masalah-masalah praktis organisasi negara/gereja melainkan ia memakai organisasi negara/gereja untuk mengarahkan individu kepada cara hidup (ways of life) dan prinsip-prinsip hidup (principles of life) yang benar yang terarah kepada Allah. (menggunakan metode Plato, melihat manusia sebagai micro-nation). oleh karena itu gagasan tentang negara tidak teracu pada bentuk organisasi tertentu, melainkan yang terutama agar orang-orang mengenal dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang terdapat pada negara Allah dan menolak prinsip negara duniawi.
Untuk menuju negara Tuhan maka diperlukan individu yang mampu mengarahkan cara hidup dan prinsip hidupnya kepada Tuhan dan menolak cara hidup dari negara sekuler. Melalui individu-individu (baik kaisar maupun penduduk biasa) yang terarah kepada Tuhan maka kelompok masyarakat–negara Tuhan akan sedikit tersinggung/tercapai di dunia ini, dan terpenuhi dalam kesempurnaannya di akhir dunia
Individu yang terarah kepada Tuhan tersebut dapat terealisasi dalam semacam negara persemakmuran kristiani dengan Kristus sebagai kepala (Konsep Allah yang meraja) yang menekankan hukum Kasih kepada Allah dan membawa kebaikan/keadilan kepada sesama.
Maka dapat dikatakan bahwa Negara ideal menurut Augustinus adalah negara Teokrasi (Allah yang meraja) dan baru akan terpenuhi pada saat akhir zaman. Negara yang ada sekarang ini bukanlah negara Tuhan walaupun telah memiliki kedamaian karena tetap bersifat sementara/fana
Modern Philosophy | Konsep dan Relasi antara Kebebasan, Person dan Kepemilikan Menurut Hegel (2)
Konsep dan Relasi Person dan Kehendak Bebas
Ada aneka pandangan terhadap person ini. Dalam tataran sejarah perkembangan filsafat terutama dalam perspektif metafisik person diartikan sebagai kesatuan substansial dari tubuh dan jiwa, sebagai dimensi psiko-fisik, sebagai dimensi ontologisnya. Dalam hal ini tubuh dilihat sebagai ekspresi derajad kemanusiaan, berhargam dan bernilai, tidak pernah menjadi atau direduksi ke dalam nilai pasar yang dapat diperjualbelikan. Asumsi yang demikian bertitik tolak dari pandangan bahwa person secara total dan esensial identik dengan tubuhnya. Akan tetapi ada anggapan bahwa tubuh itu juga merupakan materi, kuburan dan penjara bagi sesuatu yang tidak dapat mati. Tetapi dalam pandangan modern, tubuh adalah prinsip material dari individuasi dan dilihat dalam kerangka fungsi instrumentalnya. Manusia lantas tidak menjadi tubuh tetapi menjadi objek harta milik.
Pengertian Hegel terhadap person dan seluruh penjelasannya rupanya merupakan sontoh paham modern tetang pribadi itu sendiri. Ia misalnya mendefinisikan kepribadian sebagai kapasitas untuk membuat suatu abstraksi dari semua penentuan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemikiran sebagaimana adanya yang terjadi pada kehendak. Tubuh dalam hal ini dilihat sebagai kondisi eksternal. Selanjutnya person dapat dan harus memiliki tubuhnya sendiri. Oleh karena itu direduksikan ke dalam eksistensi fenomenal. Tubuh lalu menjadi milik person, adalah cermin dan instrument aktivitas kebebasannya. Person kemudian menjadi tuan bagi dirinya.
Pada level roh subjektif, adanya person didahului oleh jiwa, oleh kesadaran atau kesadaran diri, dan pada akhirnya adalah moment kehendak bebas. Pada tingkat roh objektif, relasi antara person dengan tubuhyna diletakkkan dalam dialektika kemajuan yang menunjukkan bagaimana person dalam aktivitasnya secara konstant dan perlu dibatasi pada bidang alamiah sebagaimana itu berbeda dari bentuk-bentuk hidup sosial dan politis. Dalam bidang hukum tubuh itu perlu secara “artifisial” dikaitkan dengan suatu tindakan partikular kehendak yang ditempatkan dalam konteks pengakuan hukum. Pada level ini, person tidak dapat mengabstrasikan dari level alamiah dan presuposisi fisik. Tubuh mesti diakui sebagai sesuatu yang konstitutif bagi kepribadian yang bebas. Konsep person merupakan tempat lahir bagi subjektivitas, kebebasan abstrak dan dilihat sebagai kapasitas tertinggi dari semua abstraksi semua isi bahkan dari apa yang adalah milik kita. Hegel lantas berpendapat bahwa idea kebebasan perlu direalisasi ke dalam dunia objektif. Dalam hal ini tubuh kemudian menjadi yang paling pertama dan segera merupakan alasan subjektif tentang dunia objektif. Pada sisi lain tubuh adalah mediasi dan merupakan unsur pembangun dari kondisi intersubjektif. Dengan demikian tubuh person dilihat sebagai “being-for-other” dari kepribadian. Hal ini mewakili aneka proposisi “pengakuan”.
Daram Philosophy of Right tubuh diletakkan dalam kaitannya dengan kepribadian. Meskipun secara logis person mengatasi tubuh, hal tersebut hanyalah suatu identifikasi antara person dan tubuh yang membenarkan dialektika dari roh objektif. Pada tataran ini, tubuh diletakkan sejajar dengan person dan karena itu menjaminnya pada suatu tingkat status ontologis yang mengatasi semua hal alamiah. Yang alamiah sebagaimana penentuan-penentuan alamiah tubuh adalah apa yang meletakkan kemungkinan membatasi tindakan bebas person sebagai subjek “hukum” dan meletakkan dasar relasi intersubjektif antara person-person. Hasil gerakan logis ini adalah perwakilan dari tubuh sebagai objek kepemilikan atau menjadi person dan kemudia adalah subjek hukum itu sendiri. Berangkat dari sinilah, Hegel kemudian menjelaskan transisi dari kepemilikan kepada kontrak. Klaim bahwa person itu memiliki tubuh dalam harta milik mengantar seseorang kepada pengakuan bahwa tubuh adalah subjek hukum. Hal ini secara mutual berada dalam konteks kontrak. Sebab di dalam kontrak inilah masing-masing person saling menghargai.
Konsep filsafat hukum juga berkaitan dengan person. Problem dari filsafat hukum berhubungan dengan tema subjektifitas yang dapat berkembang dalam bentuk-bentuk berbeda dan figur-figur aktualitas roh. Di sini pengertian kehendak menjadi penting. Hegel, dalam uraian awalnya pada konsep roh subjektif menerangkan momen terakhir dari roh subjektif adalah kehendak bebas. Akan tetapi pada momen ini, kehendak tidak sungguh-sungguh bebas di dalam subjek yang terbatas karena kebebasa adalh aktualisasi diri dan perwujudan diri dari konsep dalam element eksistensi. Oleh karena itu, agar berada dalam kebebasan objetifnya, kehendak mesti mengambil bentuk sukesifnya. Moment pertama adalah person. Hegel menerangkan pula pemikirnanya untuk mengidetifikasi person itu. ada dua metode yang ditawarkannya. Pertama, karena filsafat pengetahuan tentang hukum memiliki idea tetang hukum sebagai objek, metode tersebut harus mengikuti perkembangan momen dari penentuan “konsep hukum” dan aktualisasinya. Kedua, penjelasan filsafat mesti menghadirkan figur konkret yang setiap waktu berkoresponden dengan moment-moment berbeda dari konsep yang adalah universalitas, partikularitas, dan individualitas. Hegel mengidentifikasi permulaan pengetahuan hukum dengan tugas pengembangan struktur-struktur kehendak menurut tiga moment konsep. Sekarang konsep kehendak adalah kebebasan. Kebebasan adalah substansi kehendak. Kehendak ditentukan oleh kebebasan utuk menemukan suatu Dasein dalam mana ia mewujudkan dirinya. Kehendak bebas ini merupakan bentuk pertama dari kebebasan yang mengaktualkan dirinya. Dalam konteks Abstract Right, kehendak bebas adalah moment pertama dari konsep-konsep momen individualitasnya. Dalam partikularitasnya, kehendak diperhitungkan ke depan dengan segera memberi dunia pertama dari kebebasan yang aktual di mana ia menyatakan tujuan dan maksud-maksudnya. Person merupakan idea yang secara total menentukan kondisi-kondisi empiris.
Langkah pertama untuk mengenal bahwa dalam bidang hukum kehendak bebas memiliki eksistensi dalam figus yuridis person. Langkah lainnga adalah dalam dan melalui diriyna sebagai milik dirinya. Relasi ini justru adalah dasar bagi konsep kepemilikan. Konsep person oleh Hegel merupakan perintah hukum (par 36) ini dikatakan Hegel dalam dua klausa yakni pertama jadilah pribadimu sendiri. Hal ini diarahkan kepada masing-masing individu yang bebas. Kedua adalah hormatilah yang lain sebagai person. Yang dimaksudkan Hegel untuk setiap pribadi sebagai person. Yang dimaksud oleh Hegel di sini adalah pentingnya relasi dengan person lain dengan cara “being-for-other” yakni melalui dirinya dan objek kepemilikan. Di sini Hegel mengutip konsep Kant tentang kategori imperatif dalam bidang hukum. Agar dapat dimengerti dua bidang perintah itu, person “harus” menyediakan bagi dirinya suatu “bagian eksternal” dari kebebasannya. Ini akan mendapat bentuknya dalam dasein. Karena inisial keabstrakkannya, dasein dikualifikasikan sebagai “eksternal” untuk kehendak bebas dan oleh karena itu, dapat dipisahkan dan berbeda darinya (par.41). “bidang kebebasan” yang adalah hasil eksteriorisasinya adalah penentuan “kepemilikan”. Person bagi Hegel adalah pemilik harta mulik itu. Kepemiliknan, bagi Hegel, lantas merupakan suatu yang esensial bagi status yuridis dari person; bahwa seorang person tidak memiliki harta milik adalah suatu yang contradictio in adjecto. Eksterioritas itu tmapak dalam barang-barang atau hal-hal yang menjadi kekayaan person agar ia menjadi benar-benar bebas sebagai person. Eksistensi ini kemudian dapat menjadi “yang lain” yang tunggal. “Lain” di sini menjadi mungkin karena pemisahan dari dirinya. Dalam hal ini, Hegel memaksudkan suatu alienasi pribadi seseorang atau person terhadap harta miliknya.
Modern Philosophy | Konsep dan Relasi antara Kebebasan, Person dan Kepemilikan Menurut Hegel (1)
Pemikiran Hegel yang tertuang dalam karyanya Philosophy of Right merupakan pintu masuk ke dalam pemikirannya tentang filsafat politik. Di dalamnya Hegel membahas tema-tema pemikiran politiknya yang meliputi permasalahan tentang hukum, moralitas dan kesusilaan. Di dalam tema kesusilaan, ia membahas pula dialektika yang terjadi di dlaam keluarga, masyarakat dan negara. Berkaitan dengan ini, salah satu yang menjadi pokok pembicaraannya dalam hukum abstrak adalah konsepnya tentang hak milik atau kepemilikan. Bagaimana kepemilikan itu berkaitan dengan kehendak, kebebasan dan hukum yang merupakan persoalan yang tidak bisa lepas dari pemikirannya. Justifikasi kepemilikan ini ternyata juga berhubungan dengan konsep tentang person dan kepribadian. Tulisan berikut ini akan memaparkan justifikasi Hegel terhadap kepemilikan itu.
Kerangka utama sistem filsafat Hegel
Kerangka filsafat Hegel dikategorikan ke
dalam tiga bagian berikut ini. Pertama yakni filsafat logika, kedua yakni filsafat alam dan filsafat roh. Ketiganya merupakan momen-momen dalam keseluruhan proses perjalanan roh/ide/kehendak menuju pada kepenuhan dan kesadarannya yang absolut. Untuk mencapai pada kesadaran diri yang sepenuhnya, roh tersebut niscaya perlu mengejawantahkan dirinya secara dialektis dalam berbagai realitas material. Tema filsafat politik merupakan momen dalam tahap perkembangan filsafat roh, tepatnya dalam tahap perkembangan roh objektif. Perkembangan roh objetktif ini terjadi dalam tiga tahap pula yakni hukum abstrak, moralitas dan kesusilaan. Roh/ide/kehendak yang berkembang itu akan mencapai kepenuhannya dalam tahap kesusilaan, yang mana di dalam tahap ini, roh akan melalui tiga fase perkembangan yakni keluarga, masyarakat sipil dan negara. Dalam negara inilah rasionalitas dan kebebasan inidividu menjadi mungkin dan tercapai; dalam negara pula, kebebasan individu menyatu dengan totalitas kebebasan yang absolut.
Hal yang tidak terpisahkan dari penjelasan dan uraian Hegel tentang kepemilikan tidak terlepas dari konsepnya tentang kehendak bebas. Hampir seluruh filsafatnya bertitik tolak atau berdasarkan paham kebebasan ini. Dari sinilah ia merumuskan filsafatnya sebagai sejarah ynag berkembang ke arah kemerdekaan. Hal ini bagi Hegel tampak dalam tradisi Kristiani yang terjadi dalam komunitas jemaat perdana. Di dalam komunitas ini, paham subjektifitas itu sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi. Manusia, dalam konsep ini dipandang sebagai persona yang bebas. Paham manusia yang bebas ini pula berkembang dan kemudian diteruskan dalam kenyataan sosial. Kenyataan tersebut bagi Hegel ditemukan dan tampak dalam revolusi Perancis yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte.
Saturday, December 12, 2009
Religion based on Logic
Religion and Logic have been considered to be mutually exclusive. Logic being reality and science and religion being the world of make believe. Many people from the world of logic look at religion as a form of mental defect that undermines the principles of science. However pure Atheism doesn't tell us what right and wrong is or how we should live our lives as humans exploring reality. The Atheist community is aware of the fact that it doesn't fill this void. Religion provides more than just a fictional doctrine. It provides a community. It provides a moral compass to determine what is right and what is wrong. It's a blueprint of how to live our lives.
In modern times the scientific and atheistic communities have made some progress towards addressing the human side of Atheism. Humanism is a good start towards addressing these issues. Atheists who want to eliminate churches and religion often realize that they will never succeed until they have a working substitute that fulfills the legitimate functions of religions to form community, to care for one another, to create a basis for right and wrong, to perform weddings and funerals, to provide spiritual counseling, and to provide a sense of belonging. Fiction based religions provide these services and often do so in a very flawed way. But fiction based religion is the only source of this type of community, until now.Most people say that it can never be done, the task of creating a religion based on reality that supports logic and reason as its standards for creating the guidelines for humanity to live by. But I say that it can be done, and it must be done. As a scientist I can not accept the premise that a fictional based worldview is required to perform the legitimate and necessary functions of a church. Therefore there must be a model for a religion that functions as a church but is based on reality. If we assume that such a model can exist then it becomes a puzzle to be solved. How do we do that? How do we create a religion based on reality? How do we unite the two?
That is one of our missions. We are the Church of Reality and we have to live up to our name bringing the Church and Reality together. And we have to do it in a way that stays true to the standards and requirements of both worlds. On the Reality side the Church of Reality must be scientifically pure. We can not compromise science for example by accepting a deity just because it's popular. On the Church side we have to create a sense of right and wrong, provide guidance on how people should live their lives. We have to create a moral code, a community, and address the spiritual needs of the community without having to resort to spirits to do so. The Church of Reality is primarily a church which is based on reality. We are a religion first. We are about people and the human experience. We are people exploring reality as it really is.
By taking the name Church of Reality we have accepted as an axiom that the problem is solvable and that it is our dharma to solve the problem.
Filsafat Rasionalisme: Logika Menentang Agama
Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Kali ini saya akan menggali lebih dalam tentang aliran kontra empirisme, taitu Rasionalisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
MENGKAJI FENOMENA KESEHARIAN
Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasinalisme tersebut, sekiranya saya dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Dari salam satu tulisan yang saya temukan di internet,
“Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.” demikian ungkapan tersebut. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah?
Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?
Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?
Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan?
Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif?
Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Maka sebagai contoh ungkapan dari ‘Ibn Taimiyyah’ di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.
Kalau seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir” juga naif. Tak bermakna. Tak juga perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika pernyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir.
Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan.
Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat.
Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan “super-executive” untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami.
Jadi apakah Logika dalam Agama = kebenaran spiritual ?!
Thursday, December 10, 2009
Filosofi Cinta
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad . Allah berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah dalam haditsnya dari shahabat Tsauban mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah .
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Friday, December 4, 2009
Logika Menentang Agama
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mi\ungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Man tamanthaqa faqad fazandaqa” juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
“Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.” Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
Antara Cinta, Iman dan Akal
Al-‘aqliyyuun yakin bahwa esensi manusia adalah “keberpikirannya”. Bagi mereka semakin sempurna seorang manusia, semakin sempurna pula pemikirannya. Karena itu insan kamil (manusia sempurna) menurut pandangan ini adalah orang yang paling sempurna nalarnya, dalam arti telah menyingkap rahasia wujud (keberadaan) sebagaimana kenyataannya. Tafakkur, -dalam pengertian rasionalnya-, merupakan satu aktifitas utama yang menghantarkan manusia mencapai tujuannya. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil – albaab. (Yaitu) orang-ornag yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : ` Yaa Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran 190-191).
Di sisi lain, para ‘urafa, meyakini bahwa esensi manusia adalah al-qalb (hati). Dalam pandangan ini ihsas(rasa) dan ‘isyq (Cinta) manusia mempunyai nilai lebih dibanding tafakkur – nya. Perlu dicatat di sini bahwa ‘isyq bukanlah dalam arti cinta seksual seperti cinta pada umumnya. Ada dua ciri ‘isyq menurut para ‘urafa ;
1. Cinta ini bergerak menuju kepada Allah. Ma’syuq (obyek yang dicintai)-nya hanyalah Allah SWT.2. Cinta ini mengalir pada semua yang maujud; bintang, bulan, matahari dan yang ada di sekalian alam.
Dalam pandangan ini, seluruh keharmonisan alam adalah tanda aliran ‘isyq(Cinta) dalam segala sesuatu.
Bulan dan matahari
Langit dan bumi
Semuanya berputar-putar
Sedang Sang Penyanyi bergeletar
Bulan dan matahari
Langit dan bumi
Semuanya bak berpelukan
Bercumbu dan mencumbu Tuhan semata
Belum lagi ujung rumput nan ber-embun-an
Menambah sejuk segar hawa pagi nan ber-segar-an
Sepoi angin semilir rancak nan bertiupan
Ia pun mengatakan mari kita mencumbu Tuhan
Dalam semua adalah cinta
Meresapi semua adalah cinta
Tapi cinta pada Tuhan semata
Semua mencinta Tuhan semata
Walau mencumbu tapi tak perlu merayu
Walau mencumbu tapi tak perlu memeluk
Cukup katakan pada-Nya Duhai Sang Ayu
Sampai membanjir airmata meninggalkan ceruk
Hati (al-qalb) adalah sentral Cinta. Maka bagaimana agar manusia mencapai insan kamil ? Para ‘urafa yakin bahwa dengan akal (baca; nalar), manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan yang hakiki. Maulana Jalaluddin Rumi mengatakan;
Kaki para filosof terbuat dari kayu
Kaki yang terbuat dari kayu tidaklah berkekuatan sedikitpun
Sebaliknya para ‘urafa meyakini adanya kitab’azali yang terdapat dalam diri setiap orang. Kitab Agung tempat khazanah pengetahuan Tuhan. Yaitu; hati. Tuhan tidak akan pernah dapat ditampung bimi dan langit, tapi Tuhan dapat ditampung (baca; hadir) pada hati mukmin.Dengan membersihkan hati (tazkiyyatun-nafs) dan mengkonsentrasikan hati serta mengarahkannya hanya kepada Allah, maka seseorang akan dapat mencapai derajat insan kamil.
Dalam kitab sufi tidak terdapat tulisan dan kata,
Yang ada hanya hati putih bak salju
Karena tulisan dan kata hanyalah rerantingan
Sedang Wujud yang dirasa adalah akar
Dan tulisan dan kata hanyalah kekhayalan
Seang rasakanlah Ia yang lebih dekat dari urat leher
Dalam hati sufi tidak terdapat berbagai pengetahuan
Yang ada hanya lah Ia sendiri
Qur’an Suci mengatakan; Beruntunglah mereka yang telah membersihkan dirinya (QS Asy-Syams 9).
Di sisi lain Qur’an Suci mengatakan ; Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan saling berwasiat tentang kebenaran, dan saling berwasiat tentang kesabaran. Jelas amal shalih apapun tanpa iman adalah seperti seorang gadis tanpa ruh. Walaupun secantik apapun hanyalah mayat. Sebaliknya iman tanpa amal shalih pun mustahil, seperti adanya aliran elektron tanpa arus listrik.
Iman (+amal shalih), akal dan cinta adalah tiga ekivalensi tapi mempunyai dimensi masing-masing. Tidak mungkin beriman terhadap sesuatu yang tidak masuk akal. Tidak mungkin mencintai sesuatu yang tidak diimani wujud-nya. Dan tidak mungkin akal kita dapat berkonsentrasi terus menerus untuk menyingkap rahasia Wujud Yang Maha Agung tanpa dorongan dari geletar ‘isyq yang ada dalam dada.
Apa kesimpulannya? Ketiganya hanyalah manifestasi dari satu hal yang sama. Tiadanya yang satu memustikan ketiadaan yang lain. Hanya saja dimensi kehidupan tak berhingga . Mana kala kita pandang dari sudut nalar, akal-lah namanya. Manakala kita pandang dari sudut hati, cinta-lah namanya dan manakala kita pandang dari sudut keyakinan, iman-lah namanya.
Dengan ketiganya, – atau mungkin lebih tepat lagi dengan segenap wujud nya-, seorang manusia dapt mendekatkan diri kepada Allah. Ketika seseorang sampai pada pintu keselamatan, tidak ada lagi hijab antara ia dengan allah. Dia dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Baginya Tuhan benar-benar dapat disifati sebagai Azh-Zhaahir ( Yang Maha Lahir), atau bahkan An-Nuur (Cahaya (Mutlak)), sehingga tak ada suatu apa pun yang lebih jelas dari-Nya. Imam Husein bin ‘Ali (r.a.), -cucu Rasulullah (SAW) yang akan menjadi satu dari pemimpin para pemuda di surga-, mengatakan; “ Adakah maujud yang lebih jelas dan terang dari-Mu?”
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.
(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)