Heidegger mengatakan bahwa kesadaran akan kematian dan penerimaan kematian, yang berarti penerimaan keterbatasan membuat eksistensi manusia otentik, yaitu eksistensi yang bertanggung jawab. Dalam arti ini kematian mendidik manusi. Yang mendidik bukan kematian in se, karena kematian mencabu manusia dari dunia dan mengacam makna hidup manusia. Yang mendidik manusia adalah kondisi ‘dapat matinya manusia’ yang disadari oleh manusia. Yang mendidik manusia bukan pula kesadaran bahwa sesudah mati masih terus hidup. Manakah aspek-aspek edukatif kematian?
Pertama, kesadaran akan kematian mendorong manusia untuk berbuat guna menanda kematian yang tak terelakkan. Untuk mengatasi rasa tidak aman, fundamental eksistensi mansuai, yang secara terus menerus dihadapkan pada kematian, manusia telah menciptakan kebudayan dan peradaban. Orang menciptakan dunia yang lebih manusiawi di mana ada pangan dan papan untuk semua, di mana keadilan ditegakkan dan di mana manusia dapat hidup dan mengembankan identitasnya. Manusia berjuang melawan penyakit, ketidakadilan, alienasi yang membuat kematian menjadi suatu yang berat dan tak dapat diterima. Levinas juga menekankan fungsi edukatif kematian tersebut. Kematian mendorong manusia untuk membangun struktur-struktur yang menunda ancaman kematian dan yang memungkinkan manusia hidup lebih manusiawi di dunia.
Kedua, kesadaran akan kematian yang tak terelakkan, sementara menuntut diciptakannya suatu kebudayaan yang menunda kematian, juga menghapuskan kita untuk mempertanyakan makna pekerjaan manusia di dunia. Keharusan mati mengharuskan kita untuk mengakui nilai terbatas dari barang duniawi. Makna fundamental eksistensi manusia tidak dapat merupakan akumulasi dari kekayaan pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi semata. Segala sesuatu yang dimiliki akan ditinggalkan pada yang masih hidup, yang berbuat menurut kemauannya. Sartre mengatakan bahwa kematian adalah absurd karena seluruh eksistensi ditinggalkan sebagai jarahan di tangan orang lain. Kaum Marxis juga mengatakan bahwa hidup ini tak bermakna kalau manusia mencari makna eksistensi hanya pada milik pribadi, karena hal itu merupakan ekspresi suatu situasi alienasi manusia. Namun kematian tidak mengajarkan kesia-siaan dan kemu-baziran kepemilikian in se. Kematian mengajarkan bahwa harta yang digunakan secara eksklusif bagi kepentingan diri sendiri adalah kesia-siaan. Dengan lain perkataan, kematian menyinari makna positif harta benda, yaitu bahwa semua barang kebudyaan hanya memiliki makna kalau digunakan untuk meningkatkan martabat sesama. Barang-barang pada hakekatnya bukan barang yang harus dimiliki dan disimpan, tetapi realitas yang harus diberikan. “Barang-barang”, kata Lévinas, “tidak memanifestasikan diri sebagai sesuatu yang harus ditumpuk, tetapi sebagai sesuatu yang harus diberikan.”
Ketiga, menurut Lévinas, kematian mengajak manusia untuk meneruskan kehidupannya sendiri dan cinta kasih kepada sang anak. Anak adalah manusia yang besar lebih dari karya materiil dan kebudayaan. Pada manusia baru itu harus dinyalakan kepribadian dan cintakasih, melalui kata-kata yang diucapkan dan melalui cintakasih yang diberikan. hal itu memiliki prospek tak terbatas dalam masa depan manusia, karena setiap manusia dapat melaksanakan kembali karya itu dengan memperbaharui pengalaman manusia untuk selama-lamanya.
Keempat, kematian menisbikan segala peran dan status sosial. Kematian mengajarkan kesamaan absolut semua manusia, karena semua mengalami pengalaman maut yang sama. Semua kembali kepada debu tanah: semua manusia di hadapan kematian, tanpa pengecualian, sama-sama miskin. Juga di sini kematian mengajak kita melihat peran sosial sebagai pelanyaan untuk meningkatkan martabat yang lain dan mengembangkan kebersamaan. Kematian mengundang kita untuk membangun dunia yang lebih manusiawi di mana persamaan fundamental de fakto diakui.
Kelima, kematian mengalahkan egoisme dan kesombongan, kehendak untuk berkuasa dan kehausan akan dominasi. Kematian mengundang kita untuk bersikap toleran dalam berhadapan dengan yang lain. Kematian mengajak kita untuk memberi tempat kepada semua, karena tidak seorang pun mutlak dalam komunitas manusia. Perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang berkuasa dan yang sengsara dihapus oleh kematian.
Keenam, kematian memberikan kepada manusia suatu makna totalitas. Totalitas tidak berarti bahwa kematian merupakan bab terakhir sebuah buku yang telah selesai, atau ‘finishing’ bangunan baru yang telah selesai. Kematian mematahkan dan mengancam, maka dalam arti itu kematian in se bukanlah pemenuhan dan bukan pula totalitas. Kematian memberikan makna totalitas, artinya: pertama, kematian sebagai horizon kesadaran manusia memungkinkan manusia melihat seluruh hidupnya secara keseluruhan. Kedua, kematian sebagai akhir segala kemungkinan menghambat kita untuk mengubah makna hidup dan perjalanan hidup kita. Apa yang telah dibuat selama hidup dipasang pada figurnya. Dengan kematian kemungkinan habis dan kebebasan menjadi tidak berdaya untuk mengubah orientasi atau realisasi eksistensi.
Pertama, kesadaran akan kematian mendorong manusia untuk berbuat guna menanda kematian yang tak terelakkan. Untuk mengatasi rasa tidak aman, fundamental eksistensi mansuai, yang secara terus menerus dihadapkan pada kematian, manusia telah menciptakan kebudayan dan peradaban. Orang menciptakan dunia yang lebih manusiawi di mana ada pangan dan papan untuk semua, di mana keadilan ditegakkan dan di mana manusia dapat hidup dan mengembankan identitasnya. Manusia berjuang melawan penyakit, ketidakadilan, alienasi yang membuat kematian menjadi suatu yang berat dan tak dapat diterima. Levinas juga menekankan fungsi edukatif kematian tersebut. Kematian mendorong manusia untuk membangun struktur-struktur yang menunda ancaman kematian dan yang memungkinkan manusia hidup lebih manusiawi di dunia.
Kedua, kesadaran akan kematian yang tak terelakkan, sementara menuntut diciptakannya suatu kebudayaan yang menunda kematian, juga menghapuskan kita untuk mempertanyakan makna pekerjaan manusia di dunia. Keharusan mati mengharuskan kita untuk mengakui nilai terbatas dari barang duniawi. Makna fundamental eksistensi manusia tidak dapat merupakan akumulasi dari kekayaan pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi semata. Segala sesuatu yang dimiliki akan ditinggalkan pada yang masih hidup, yang berbuat menurut kemauannya. Sartre mengatakan bahwa kematian adalah absurd karena seluruh eksistensi ditinggalkan sebagai jarahan di tangan orang lain. Kaum Marxis juga mengatakan bahwa hidup ini tak bermakna kalau manusia mencari makna eksistensi hanya pada milik pribadi, karena hal itu merupakan ekspresi suatu situasi alienasi manusia. Namun kematian tidak mengajarkan kesia-siaan dan kemu-baziran kepemilikian in se. Kematian mengajarkan bahwa harta yang digunakan secara eksklusif bagi kepentingan diri sendiri adalah kesia-siaan. Dengan lain perkataan, kematian menyinari makna positif harta benda, yaitu bahwa semua barang kebudyaan hanya memiliki makna kalau digunakan untuk meningkatkan martabat sesama. Barang-barang pada hakekatnya bukan barang yang harus dimiliki dan disimpan, tetapi realitas yang harus diberikan. “Barang-barang”, kata Lévinas, “tidak memanifestasikan diri sebagai sesuatu yang harus ditumpuk, tetapi sebagai sesuatu yang harus diberikan.”
Ketiga, menurut Lévinas, kematian mengajak manusia untuk meneruskan kehidupannya sendiri dan cinta kasih kepada sang anak. Anak adalah manusia yang besar lebih dari karya materiil dan kebudayaan. Pada manusia baru itu harus dinyalakan kepribadian dan cintakasih, melalui kata-kata yang diucapkan dan melalui cintakasih yang diberikan. hal itu memiliki prospek tak terbatas dalam masa depan manusia, karena setiap manusia dapat melaksanakan kembali karya itu dengan memperbaharui pengalaman manusia untuk selama-lamanya.
Keempat, kematian menisbikan segala peran dan status sosial. Kematian mengajarkan kesamaan absolut semua manusia, karena semua mengalami pengalaman maut yang sama. Semua kembali kepada debu tanah: semua manusia di hadapan kematian, tanpa pengecualian, sama-sama miskin. Juga di sini kematian mengajak kita melihat peran sosial sebagai pelanyaan untuk meningkatkan martabat yang lain dan mengembangkan kebersamaan. Kematian mengundang kita untuk membangun dunia yang lebih manusiawi di mana persamaan fundamental de fakto diakui.
Kelima, kematian mengalahkan egoisme dan kesombongan, kehendak untuk berkuasa dan kehausan akan dominasi. Kematian mengundang kita untuk bersikap toleran dalam berhadapan dengan yang lain. Kematian mengajak kita untuk memberi tempat kepada semua, karena tidak seorang pun mutlak dalam komunitas manusia. Perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang berkuasa dan yang sengsara dihapus oleh kematian.
Keenam, kematian memberikan kepada manusia suatu makna totalitas. Totalitas tidak berarti bahwa kematian merupakan bab terakhir sebuah buku yang telah selesai, atau ‘finishing’ bangunan baru yang telah selesai. Kematian mematahkan dan mengancam, maka dalam arti itu kematian in se bukanlah pemenuhan dan bukan pula totalitas. Kematian memberikan makna totalitas, artinya: pertama, kematian sebagai horizon kesadaran manusia memungkinkan manusia melihat seluruh hidupnya secara keseluruhan. Kedua, kematian sebagai akhir segala kemungkinan menghambat kita untuk mengubah makna hidup dan perjalanan hidup kita. Apa yang telah dibuat selama hidup dipasang pada figurnya. Dengan kematian kemungkinan habis dan kebebasan menjadi tidak berdaya untuk mengubah orientasi atau realisasi eksistensi.
No comments:
Post a Comment