Get paid To Promote at any Location
Pertengahan Oktober 2009, saya coba mengikuti Paid-To-Promote.Net. Eh, ternyata tanggal 30 Oktober, sudah dibayar, walau hanya 0,93 dolar ke paypal saya. Program ini mempunya keteraturan membayar setiap tanggal 15 dan 30, berapapun nilai dolar yang kita dapat. Tak perlu nunggu 100 dolar seperti program lain. Bagaimana cara mengikutinya? Mudah saja, silakan register dengan referal saya. Jika Anda referal saya, maka Anda akan saya bimbing. Klik saja kata iklan tulisan "Get Paid to Promote at Any Location!"
berwarna pink di atas ini.

Ini contoh recehan dollarnya...

AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00

Hello Rakadewa,

chen zirong just sent you money with PayPal.

Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30

Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.

Sunday, March 29, 2009

Modern Atheism: Feuerbach, Freud dan Sartre

Sangkal Jika Anda Bisa!!!!

Tesis: ”Tiga bentuk ateisme filosofis modern paling utama adalah yang diajukan oleh Feuerbach, Freud dan Sartre. Menurut Feuerbach, agama hanyalah proyeksi diri manusia yang terasing daripadanya. Menurut Freud, agama itu sebuah neurosis kolektif umat manusia, Menurut Sartre, Tuhan tidak bisa ada karena kalau Tuhan ada, manusia tidak lagi bebas”.



Feuerbach
: agama hanyalah proyeksi diri manusia yang terasing daripadanya.
Titik tolak pemikirannya: kritik atas pandangan Hegel bahwa di balik pikiran dan tindakan manusia, ‘roh semesta’ mencapai tujuannya; bahwa meski manusia berpikir dan bertindak sesuai seleranya, meskipun ia bebas dan mandiri, akan tetapi melalui kemandirian itu, roh semesta menyatakan diri.

Sebaliknya bagi Feuerbach, bukan manusia itu hasil pikiran Allah, melainkan Allah adalah hasil pikiran manusia; manusia inderawi tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pmikiran manusia. Jadi bukan Allah yang menciptakan manusia melainkan Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Manusia inderawi tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia. Agama hanya sebuah proyeksi manusia; Allah, malaikat, surga, neraka tidak nyata pada dirinya, hanya angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri. Agama tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.

Agama adalah penyembahan manusia atas ciptaannya sendiri, namun tidak disadarinya sebagai itu. Ciptaan dan angan-angannya itu dianggapnya sebagai eksistensi yang ada pada dirinya, yang disembahnya, ditakuti, dihormati sebagai Allah. Demikianlah agama merupakan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Karena manusia menjadi takut, ia seakan-akan menjadi lumpuh; ia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Dari pada merealisasikan hakikatnya, ia secara pasif mengharapkan berkah daripadanya.

Karena itu menurut Feuerbuch, manusia hanya dapat mengakhiri kerterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila ia meniadakan agama; ia harus menarik agama ke dalam dirinya. Teologi harus menjadi antropologi.
Freud: agama itu sebuah neurosis kolektif umat manusia.
Neurosis: kelakuan-kelakuan dan perasaan-perasaan yang aneh dalam arti tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Misalnya orang tidak bisa berkomunikasi dengan normal, takut tanpa alasan.

Freud tidak mempersoalkan apakah ada Tuhan atau tidak. Baginya jelas bahwa Tuhan tidak ada; yang ada adalah alam dan manusia dan segala masalahnya. Yang menjadi pertanyaan Freud adalah: mengapa gagasan tentang Tuhan sedemikian menguasai kesadaran dan kehidupan manusia, padahal Tuhan tidak dapat dilihat ataupun dirasakan.
Agama menurut kodrat psikologisnya merupakan ilusi. Melalui agama, manusia mau melindungi diri terhadap macam-macam ancaman dan penderitaan. Namun perlindungan itu ilusi: dewa-dewa bukan sungguih-sungguh ada dan melindungi manusia, tetapi hanya diinginkan manusia untuk melindunginya [mirip sikap umat Israel kuno yang percaya dan menyembah dewa baal, yang tidak ada pada dirinya]. Keyakinan bahwa suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena kenyataan mendukung harapan itu, melainkan karena orang menginginkannya.
Agama itu nerosis kolektif, maksudnya: bahwa setiap individu biasanya beragama karena ia menjadi besar, mengalami sosialisasi dasar dalam masyarakat yang sudah beragama, maka ia mempercayai dan menghayati agamanya seperti ia mempercayai dan menghayati semua unsur lain pandangan dunia masyarakatnya.
Akan tetapi sebagai gejala sosial, agama sama dengan neurosis sekelompok orang. Mereka melakukan perintah Allah dan menghindari dosa karena takut akan Allah – ‘Ayah super’ yang sekaligus dicintai dan ditakuti. Manusia menyikapi keinginan yang dirasakannya bukan karena pertimbangan yang masuk akal, melainkan karena ia merasa dilarang Tuhan. Yang khas bagi neurosis adalah ketakutan. Orang beragama berfokus pada aturan ritual yang detail supaya tidak masuk neraka, agar tidak berdosa dan karena itu tidak dihukum, jadi bukan atas pertimbangan absah-tidak absah. Demikianlah agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan mencapai tingkat kebahagiaan yang sebenarnya.

Sartre: Tuhan tidak bisa ada karena kalau Tuhan ada, manusia tidak lagi bebas. Sartre yakin bahwa “manusia bertanggung jawab atas diri sendiri”, artinya ia sendirilah yang membentuk dirinya senidiri. “Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri. Itulah prinsip pertama eksistensialisme Sartre”. Nah, percaya kepada Allah sama dengan menyangkal tanggung jawab itu; sebab yang bertanggung jawab sekarang adalah Allah, bukan dirinya sendiri. Manusia tidak lagi bebas, Allahlah yang menciptakan manusia dan bertanggung jawab bagaimana manusia berkembang dan bertindak. Sikap itu tidak jujur karena sebetulnya manusia tahu bahwa dialah yang bertanggung jawab. Selama manusia percaya kepada Allah ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri, ia tidak otentik- artinya manusia adalah ketiadaan.
Keyakinan bahwa adanya Allah menghancurkan kebebasan manusia berkaitan dengan pengertian Sartre tentang manusia. Ia membedakan dua kenyataan: berada pada dirinya sendiri (etre en soi) dan berada bagi dirinya sendiri (etre pour soi). Yang pertama adalah realitas pada objektif; yang kedua adalah kesadaran diri yang hanya bisa ada sebai penolakan terhadap berada pada dirinya sendiri. Manusia dalah sang berada bagi dirinya sendiri, artinya ia tidak mempunyai hakekat yang pasti, ia menemukan dirinya terlempar ke dalam eksistensi. Manusia adalah “satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya”. Ia sama sekali bebas, sama sekali tidak terdeterminasi. Tidak ada sebuah realitas dari luar yang padanya manusia bersandar, yang padanya manusia mencari orientasi moral. Jelas bahwa dengan kebebasan radikal itu, manusia akan gagal dalam usaha menemukan diri apabila ada Allah.
Kalau tidak ada Allah (yang Mahakuasa), semuanya boleh; tidak ada penentuan sebelumnya, manusia bebas. Kalau hakikat manusia adalah kebebasan total sebagai ada bagi dirinya sendiri, adanya Allah mesti merupakan sebuah kerangka acuan yang tidak dapat diabaikan dan dengan demikian manusia tidak lagi bebas.

[+/-] ReadMore...

Wednesday, March 25, 2009

Biography


(Born December 30, 1905 [January 12, 1906, Old Style], Kaunas, Lithuania—died December 25, 1995, Paris, France) French philosopher renowned for his powerful critique of the preeminence of ontology (the philosophical study of being) in the history of Western philosophy, particularly in the work of the German philosopher Martin Heidegger (1889–1976).

Lévinas began his studies in philosophy in 1923 at the University of Strasbourg. He spent the academic year 1928–29 at the University of Freiburg, where he attended seminars by Edmund Husserl (1859–1938) and Heidegger. After completing a doctoral dissertation at the Institut de France in 1928, Lévinas taught at the École Normale Israelite Orientale (ENIO), a school for Jewish students, and the Alliance Israelite Universelle, both in Paris. Serving as an officer in the French army at the outbreak of World War II, he was captured by German troops in 1940 and spent the next five years in a prisoner of war camp. After the war he was director of the ENIO until 1961, when he received his first academic appointment at the University of Poitiers. He subsequently taught at the University of Paris X (Nanterre; 1967–73) and the Sorbonne (1973–78).The principal theme of Lévinas's work after World War II is the traditional place of ontology as “first philosophy”—the most fundamental philosophical discipline. According to Lévinas, ontology by its very nature attempts to create a totality in which what is different and “other” is necessarily reduced to sameness and identity. This desire for totality, according to Lévinas, is a basic manifestation of “instrumental” reason—the use of reason as an instrument for determining the best or most efficient means to achieve a given end. Through its embrace of instrumental reason, Western philosophy displays a destructive and objectifying “will to domination.” Moreover, because instrumental reason does not determine the ends to which it is applied, it can be—and has been—used in the pursuit of goals that are destructive or evil; in this sense, it is responsible for the major crises of European history in the 20th century, in particular the advent of totalitarianism. Viewed from this perspective, Heidegger's attempt to develop a new “fundamental ontology,” one that would answer the question of the “meaning of Being,” is misguided, because it continues to reflect the dominating and destructive orientation characteristic of Western philosophy in general.Lévinas claims that ontology also displays a bias toward cognition and theoretical reason—the use of reason in the formation of judgments or beliefs. In this respect ontology is philosophically inferior to ethics, a field that Lévinas construes as encompassing all the practical dealings of human beings with each other. Lévinas holds that the primacy of ethics over ontology is justified by the “face of the Other.” The “alterity,” or otherness, of the Other, as signified by the “face,” is something that one acknowledges before using reason to form judgments or beliefs about him. Insofar as the moral debt one owes to the Other can never be satisfied—Lévinas claims that the Other is “infinitely transcendent, infinitely foreign”—one's relation to him is that of infinity. In contrast, since ontology treats the Other as an object of judgments made by theoretical reason, it deals with him as a finite being; its relationship to the Other is therefore one of totality.Lévinas claims that ethics can be given a theological foundation in the biblical commandment “Thou shalt not kill” (Ex. 20:13). He explores the ethical implications of this mandate in religious studies such as Difficult Freedom: Essays on Judaism (1963) and Nine Talmudic Readings (1990). Among Lévinas's other major philosophical works are Existence and Existents (1947), Discovering Existence with Husserl and Heidegger (1949), Difficult Freedom (1963), and Otherwise than Being, or Beyond Essence (1974).

[+/-] ReadMore...

Sunday, March 15, 2009

Tiga Legitimasi Dasar Subjek Kekuasaan

(Tesis):
"Tiga legitimasi dasar subjek kekuasaan adalah legitimasi religius, legitimasi eliter -yang dapat dibagi ke dalam legitimasi aristokratis, legitimasi ideologis, legitimasi teknokrat- dan legitimasi pragmatis, dan legitimasi demokratis. Menurut etika politik modern negara legitim adalah negara hukum demokratis."

Legitimasi adalah kekuasaan yang mempunyai sebuah atau beberapa prinsip dasar yang menjadikannya absah atau diakui sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Legitimasi subjek kekuasaan mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk membuat undang-undang bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subjek kekuasaan yaitu: legitimasi religius, legitimasi eliter, dan legitimasi demokratis.
1. legitimasi religius mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor adi-duniawi
2. legitimasi eliter mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan. Paham legitimasi itu berdasarkan anggapan bahwa unutk memerintah diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki seluruh rakyat.

Legitimasi eliter dibagi empat:
a. aristokratis: berdasarkan pada kelas atau golongan masyarakat yang dianggap lebih unggul daripada masyarakat lain.
b. pragmatis: berdasarkan orang atau golongan atau kelas yang de facto paling cocok memegang kekuasaan (mis. militer)
c. ideologis: berdasarkan kepada ideologi yang dibangun oleh sekelompok orang.
d. Teknokratis: berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerinytahan masyarakan di zaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan oleh mereka yang ahli. Masyarakat dalam hal ini diandaikan tidak mampu menentukan nasibnya sendiri.
3. legitimasi demokratis: yang mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan rakyat

Negara hukum demokratis adalah negara yang menjadaikan hukum sebagai lembaga pengatur masyarakat yang normatif, dimana hukum sebagai dasar penggunaan kekuasaan harus berdasarkan pada persetujuan dasar warga negara.
Dari ketiga bentuk legitimasi diatas, legitimasi religius pada jaman sekarang tidak diterima lagi atau sejauh masih dapat ditemukan sisa-sisa kebudayaan pra-modern, legitimasi itu cepat kehilangan pengakuan. Maka persaingan terbesar legitimasi demokratis adalah legitimasi eliter. Legitimasi aristrokratis mirip dengan legitimasi religius, tidak sesuai dnegna pandangan dunia jaman sekarang sehingga mudah menghilang. Legitimasi pragmatis secara hakiki hanya bersifat sementara yaitu untuk mengatasi keadaan darurat. Kemungkinan tinggal dua alternatif yang pertama sesudah keadaaan darurat diatasi, kelompok aristokrat mundur. Yang kedua, kelompok tersebut tetap memegang kekuasaan yang kemungkinannya ada 2 yaitu: ideologis atau teknokratis.Suatu kepercayaan ideologis maupun kealihan khusus teknokratis tidak memberikan hak kepada kelompok yang memilikinya untuk menguasai masyarakat. Dengan demikian satu-satunya legitimasi yang sah adalah legitimasi religius.

[+/-] ReadMore...

Nilai Edukatif Kematian: Bukan ‘kata Akhir’

kematian, indah, edukasi, arti, mati, hidup, filsafat, heidegger, manusia, fana, surga, neraka

Heidegger mengatakan bahwa kesadaran akan kematian dan penerimaan kematian, yang berarti penerimaan keterbatasan membuat eksistensi manusia otentik, yaitu eksistensi yang bertanggung jawab. Dalam arti ini kematian mendidik manusi. Yang mendidik bukan kematian in se, karena kematian mencabu manusia dari dunia dan mengacam makna hidup manusia. Yang mendidik manusia adalah kondisi ‘dapat matinya manusia’ yang disadari oleh manusia. Yang mendidik manusia bukan pula kesadaran bahwa sesudah mati masih terus hidup. Manakah aspek-aspek edukatif kematian?
Pertama, kesadaran akan kematian mendorong manusia untuk berbuat guna menanda kematian yang tak terelakkan. Untuk mengatasi rasa tidak aman, fundamental eksistensi mansuai, yang secara terus menerus dihadapkan pada kematian, manusia telah menciptakan kebudayan dan peradaban. Orang menciptakan dunia yang lebih manusiawi di mana ada pangan dan papan untuk semua, di mana keadilan ditegakkan dan di mana manusia dapat hidup dan mengembankan identitasnya. Manusia berjuang melawan penyakit, ketidakadilan, alienasi yang membuat kematian menjadi suatu yang berat dan tak dapat diterima. Levinas juga menekankan fungsi edukatif kematian tersebut. Kematian mendorong manusia untuk membangun struktur-struktur yang menunda ancaman kematian dan yang memungkinkan manusia hidup lebih manusiawi di dunia.
Kedua, kesadaran akan kematian yang tak terelakkan, sementara menuntut diciptakannya suatu kebudayaan yang menunda kematian, juga menghapuskan kita untuk mempertanyakan makna pekerjaan manusia di dunia. Keharusan mati mengharuskan kita untuk mengakui nilai terbatas dari barang duniawi. Makna fundamental eksistensi manusia tidak dapat merupakan akumulasi dari kekayaan pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi semata. Segala sesuatu yang dimiliki akan ditinggalkan pada yang masih hidup, yang berbuat menurut kemauannya. Sartre mengatakan bahwa kematian adalah absurd karena seluruh eksistensi ditinggalkan sebagai jarahan di tangan orang lain. Kaum Marxis juga mengatakan bahwa hidup ini tak bermakna kalau manusia mencari makna eksistensi hanya pada milik pribadi, karena hal itu merupakan ekspresi suatu situasi alienasi manusia. Namun kematian tidak mengajarkan kesia-siaan dan kemu-baziran kepemilikian in se. Kematian mengajarkan bahwa harta yang digunakan secara eksklusif bagi kepentingan diri sendiri adalah kesia-siaan. Dengan lain perkataan, kematian menyinari makna positif harta benda, yaitu bahwa semua barang kebudyaan hanya memiliki makna kalau digunakan untuk meningkatkan martabat sesama. Barang-barang pada hakekatnya bukan barang yang harus dimiliki dan disimpan, tetapi realitas yang harus diberikan. “Barang-barang”, kata Lévinas, “tidak memanifestasikan diri sebagai sesuatu yang harus ditumpuk, tetapi sebagai sesuatu yang harus diberikan.”
Ketiga, menurut Lévinas, kematian mengajak manusia untuk meneruskan kehidupannya sendiri dan cinta kasih kepada sang anak. Anak adalah manusia yang besar lebih dari karya materiil dan kebudayaan. Pada manusia baru itu harus dinyalakan kepribadian dan cintakasih, melalui kata-kata yang diucapkan dan melalui cintakasih yang diberikan. hal itu memiliki prospek tak terbatas dalam masa depan manusia, karena setiap manusia dapat melaksanakan kembali karya itu dengan memperbaharui pengalaman manusia untuk selama-lamanya.
Keempat, kematian menisbikan segala peran dan status sosial. Kematian mengajarkan kesamaan absolut semua manusia, karena semua mengalami pengalaman maut yang sama. Semua kembali kepada debu tanah: semua manusia di hadapan kematian, tanpa pengecualian, sama-sama miskin. Juga di sini kematian mengajak kita melihat peran sosial sebagai pelanyaan untuk meningkatkan martabat yang lain dan mengembangkan kebersamaan. Kematian mengundang kita untuk membangun dunia yang lebih manusiawi di mana persamaan fundamental de fakto diakui.
Kelima, kematian mengalahkan egoisme dan kesombongan, kehendak untuk berkuasa dan kehausan akan dominasi. Kematian mengundang kita untuk bersikap toleran dalam berhadapan dengan yang lain. Kematian mengajak kita untuk memberi tempat kepada semua, karena tidak seorang pun mutlak dalam komunitas manusia. Perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang berkuasa dan yang sengsara dihapus oleh kematian.
Keenam, kematian memberikan kepada manusia suatu makna totalitas. Totalitas tidak berarti bahwa kematian merupakan bab terakhir sebuah buku yang telah selesai, atau ‘finishing’ bangunan baru yang telah selesai. Kematian mematahkan dan mengancam, maka dalam arti itu kematian in se bukanlah pemenuhan dan bukan pula totalitas. Kematian memberikan makna totalitas, artinya: pertama, kematian sebagai horizon kesadaran manusia memungkinkan manusia melihat seluruh hidupnya secara keseluruhan. Kedua, kematian sebagai akhir segala kemungkinan menghambat kita untuk mengubah makna hidup dan perjalanan hidup kita. Apa yang telah dibuat selama hidup dipasang pada figurnya. Dengan kematian kemungkinan habis dan kebebasan menjadi tidak berdaya untuk mengubah orientasi atau realisasi eksistensi.

[+/-] ReadMore...

E. Lévinas tentang “Egologia” dan “Yang lain”


Antropologia E. Lévinas dicirikan oleh dua gagasan fundamental. Pertama, kritik radikal terhadap ‘egologia’ yang didasarkan pada ‘cogito’ Descartes. Kedua, penegasan akan ‘yang lain’ sebagai paling utama, sebagai kebenaran fundamental manusia.
Setiap interpretasi manusia yang didasarkan pada pengutamaan ‘cogito’ dan orientasi pada dunia material, menurut Lévinas, menandakan keinginan akan kekuasaan dan dicemarkan oleh mitos totalitas. Hal itu berlaku juga bagi filsafat eksistensi yang menggantikan cogito (aku berpikir) dengan volo (aku berkehendak), ago (aku berbuat) dan possum (aku mampu), yang berada secara fundamental dalam kerangka egologia.
Pada tataran pengetahuan antropologi yang dikuasai oleh ego terungkap tendensi untuk mereduksi realitas pada rasio eksplisit. Terutama dalam idealisme, yang merupakan ekspresi langsung prinsip antropologi yang dikemukakan Descartes, realitas ‘dibentuk’ oleh rasio. Mengetahui realitas berate mereduksi segala hal dalam kesatuan yang sama dari system rasional yang dipikirkan oleh ego. Segala hal yang di luar dan berbeda harus direduksi dalam realitas rasional. Tujuan yang mau dicapai dengan interpretasi manusia demikian, adalah ‘Aku’ yang memperluas diri, sedemikian rupa sehingga mampu dengan satu pandangan atau dengan satu formula memahami realitas dengan segala perbedaannya, dengan mereduksi semua pada totalitas dan mengeliminir setiap perbedaan.
Pada tataran etis, interpretasi manusia tersebut didominasi oleh penegasan diri: realisasi-diri, afirmasi-diri dengan mengorbankan orang lain, mencapai tujuan dengan menggunakan yang lain sebagai sarana. Manusia menjadi penentu hukum dirinya sendiri, menilai semuanya dengan rasio.
Pada tataran sosial dan politik, gagasan tentang penegasan ego dan orientasi utama menuju realitas dunia, mencakup gagasan imperialisme. Hal itu menumbuhkan perang, yang tidak lain adalah usaha memperpanjang kekuasaan atas orang lain dengan menyingkirkannya dan memperbudaknya untuk tujuannya sendiri.
Pada tataran metafisik dan religius, antropologia egologia itu, dengan mengabikan perjumpaan dengan yang lain, menjadi tertutup dalam sejarah. Tak ada ruang bagi transendensi. Dimensi metafisika mengalamai atrofi. Ateisme merupakan konsekuensi dari interpretasi imanen manusia tersebut.
Egologia tersebut menempatkan totalitas pada pusat, yang setiap kali mencabut aspek-aspek lain dan berakhir dengan mengorbankan ‘yang tunggal’ pada sistem. Sejarah Eropa memberikan lukisan ketragisan mitos egologia, yaitu ego yang mandiri, yang mengutamakan hubungan dengan dunia dalam relisasi dirinya. Ketragisan egologia itu terwujud dalam darah dan penderitaan, dalam perang dank am konsentrasi.
Gagasan sentral kedua dari antropologi antarpersonal Lévinas adalah pengutamaan ‘yang lain’ yang dilukiskan dengan ‘epifani wajah’. Di sini terimplikasi dua hal fundamental: 1). Kepastian ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ membawa manusia kepada pengalaman metafisika dan religius; 2). Pengakuan ‘yang lain’ tidak hanya terjadi pada tingkat hubungan intim dan prive, tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif.
Yang lain mengungkapkan diri dan memanifestasikan diri (epifani). Kehadirannya sama sekali berbeda dari benda-benda objektif, yang kehilangan rahasianya manakala disinari dengan akal budi. Pengetahuan benda-benda adalah pengungkapan, yang tergantung pada inisiatif orang. Dengan pertanyaan yang kita ajukan benda-benda keluar dari persembunyiannya dan memberi pengetahuan pada kita. Berbeda sekali perjumpaan dengan manusia ‘yang lain’. ‘Yang lain’ bukanlah yang saya formulasikan dengan teori saya. ‘Yang lain’ menembus eksistensiku, menghadirkan dirinyak, menampak dengan sinarnya sendiri, menghadirkan diri dengan kepastian tak terbatah. Ia hadir sebagai benar-benar ‘yang lain’, yaitu sebagai pengada yang sama sekali tidak ditentukan oleh penalaran saya dan kerenanya juga tidak terselibkan dalam totalitas rasional. Tak bias tidak aku mengakui kehadirannya.
‘Epifani’ wajah adalah kehadiran langsung (dilambangkan dengan keterlanjangan wajah) dari ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’, yang menentang setiap bentuk totalitas.
Kepastian atau pengakuan akan ‘yang lain’ (pada taraf kognitif dan metafisik) tak pernah terpisahkan dari pengakuan konkrit yang lain dalam dunia, maka tak terpisahkan dari dimensi etika. Keterlanjangan wajah adalah juga kehadiran yang terpinggirkan, setiap manusia yang menghendaki menjadi ‘seseorang’ dihadapan yang lain, yang ingin diperlakukan sebagai ‘yang lain’. Pengakuan itu merupakan pengakuan objektif dalam keadilan dan kebaikan hati. Di sini letak perbedaan dengan G. Marcel dan Martin Buber yang terlalu membatasi diri pada tingkat pribadi.
Lévinas tidak hanya mengutamakan hubungan dengan yang lain, tetapi juga meletakkan superioritas Anda dalam hubungana dengan Aku. ‘Yang lain’ adalah dia yang melihat dari ‘yang lain’, yang menuntut dan memiliki hak untuk menuntut. Hubungan antarpersonal adalah secara fundamental asimetrik. Yakni memperlakukan ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ yang tidak sama dengan kiri saya.
Sebagaimana Buber dan Marcel, hubungan antarpersonal adalah tempat dimana ‘Yang Lain’, yaitu Allah, mewahyukan diri. Menemukan diri bertatap wajah dengan sesama, adalah juga menemukan diri dihadapan Yang Maha Tinggi. ‘Dimensi ilahi terbuka dengan berangkat dari wajah manusiawi’.

[+/-] ReadMore...

Monday, March 2, 2009

EROS, PHILIA, and AGAPE

Love, Eros, Philia, Agape, Philosophy of SexEROS
The term eros (Greek erasthai) is used to refer to that part of love constituting a passionate, intense desire for something, it is often referred to as a sexual desire, hence the modern notion of 'erotic' (Greek erotikos). In Plato's writings however, eros is held to be a common desire that seeks transcendental beauty-the particular beauty of an individual reminds us of true beauty that exists in the world of Forms or Ideas (Phaedrus 249E: "he who loves the beautiful is called a lover because he partakes of it." Trans. Jowett). The Platonic-Socratic position maintains that the love we generate for beauty on this earth can never be truly satisfied until we die; but in the meantime we should aspire beyond the particular stimulating image in front of us to the contemplation of beauty in itself. The implication of the Platonic theory of eros is that ideal beauty, which is reflected in the particular images of beauty we find, becomes interchangeable across people and things, ideas, and art: to love is to love the Platonic form of beauty- not a particular individual, but the element they posses of true (Ideal) beauty. Reciprocity is not necessary to Plato's view of love, for the desire is for the object (of Beauty), than for, say, the company of another and shared values and pursuits. Many in the Platonic vein of philosophy hold that love is an intrinsically higher value than appetitive or physical desire. Physical desire, they note, is held in common with the animal kingdom and hence of a lower order of reaction and stimulus than a rationally induced love, i.e., a love produced by rational discourse and exploration of ideas, which in turn defines the pursuit of Ideal beauty. Accordingly, the physical love of an object, an idea, or a person in itself is not be a proper form of love, love being a reflection of that part of the object, idea, or person, that partakes in Ideal beauty.


PHILIA
In contrast to the desiring and passionate yearning of eros, philia entails a fondness and appreciation of the other. For the Greeks, the term philia incorporated not just friendship, but also loyalties to family and polis-one's political community, job, or discipline. Philia for another may be motivated, as Aristotle explains in the Nicomachean Ethics, Book VIII, for the agent's sake or for the other's own sake. The motivational distinctions are derived from love for another because the friendship is wholly useful as in the case of business contacts, or because their character and values are pleasing (with the implication that if those attractive habits change, so too does the friendship), or for the other in who they are in themselves, regardless of one's interests in the matter. The English concept of friendship roughly captures Aristotle's notion of philia, as he writes: "things that cause friendship are: doing kindnesses; doing them unasked; and not proclaiming the fact when they are doneÖ" (Rhetoric, II. 4, trans. Rhys Roberts).
Aristotle elaborates on the kinds of things we seek in proper friendship, suggesting that the proper basis for philia is objective: those who share our dispositions, who bear no grudges, who seek what we do, who are temperate, and just, who admire us appropriately as we admire them, and so on. Philia could not emanate from those who are quarrelsome, gossips, aggressive in manner and personality, who are unjust, and so on. The best characters, it follows, may produce the best kind of friendship and hence love: indeed, how to be a good character worthy of philia is the theme of the Nicomachaen Ethics. The most rational man is he who would be the happiest, and he, therefore, who is capable of the best form of friendship, which between two "who are good, and alike in virtue" is rare (NE, VIII.4 trans. Ross). We can surmise that love between such equalsAristotle's rational and happy men- would be perfect, with circles of diminishing quality for those who are morally removed from the best. He characterizes such love as "a sort of excess of feeling". (NE, VIII.6) Friendships of a lesser quality may also be based on the pleasure or utility that is derived from another's company. A business friendship is based on utility--on mutual reciprocity of similar business interests; once the business is at an end, then the friendship dissolves. Similarly with those friendships based on the pleasure that is derived from the other's company, which is not a pleasure enjoyed for who the other person is in himself, but in the flow of pleasure from his actions or humour. The first condition for the highest form Aristotelian love is that a man loves himself.
Without an egoistic basis, he cannot extend sympathy and affection to others (NE, IX.8). Such self-love is not hedonistic, or glorified, depending on the pursuit of immediate pleasures or the adulation of the crowd, it is instead a reflection of his pursuit of the noble and virtuous, which culminate in the pursuit of the reflective life. Friendship with others is required "since his purpose is to contemplate worthy actionsÖto live pleasantlyÖsharing in discussion and thought" as is appropriate for the virtuous man and his friend (NE, IX.9). The morally virtuous man deserves in turn the love of those below him; he is not obliged to give an equal love in return, which implies that the Aristotelian concept of love is elitist or perfectionist: "In all friendships implying inequality the love also should be proportional, i.e. the better should be more loved than he loves." (NE, VIII, 7,). Reciprocity, although not necessarily equal, is a condition of Aristotelian love and friendship, although parental love can involve a one-sided fondness.


AGAPE
Agape refers to the paternal love of God for man and for man for God but is extended to include a brotherly love for all humanity. (The Hebrew ahev has a slightly wider semantic range than agape). Agape arguably draws on elements from both eros and philia in that it seeks a perfect kind of love that is at once a fondness, a transcending of the particular, and a passion without the necessity of reciprocity. The concept is expanded on in the Judaic-Christian tradition of loving God: "You shall love the Lord your God with all your heart, and with all your soul, and with all your might" (Deuteronomy 6:5) and loving "thy neighbour as thyself" (Leviticus 19:18). The love of God requires absolute devotion that is reminiscent of Plato's love of Beauty (and Christian translators of Plato such as St Augustine employed the connections), which involves an erotic passion, awe, and desire that transcends earthly cares and obstacles. Aquinas, on the other hand, picked up on the Aristotelian theories of friendship and love to proclaim God as the most rational being and hence the most deserving of one's love, respect, and considerations.
The universalist command to "love thy neighbor as thyself" refers the subject to those surrounding him, whom he should love unilaterally if necessary. The command employs the logic of mutual reciprocity, and hints at an Aristotelian basis that the subject should love himself in some appropriate manner: for awkward results would ensue if he loved himself in a particularly inappropriate, perverted manner! (Philosophers can debate the nature of 'self-love' implied in this-from the Aristotelian notion that self-love is necessary for any kind of inter-personal love, to the condemnation of egoism and the impoverished examples that pride and self-glorification from which to base one's love of another. St Augustine relinquishes the debate--he claims that no command is needed for a man to love himself (De bono viduitatis, xxi.) Analogous to the logic of "it is better to give than to receive", the universalism of agape requires an initial invocation from someone: in a reversal of the Aristotelian position, the onus for the Christian is on the morally superior to extend love to others. Nonetheless, the command also entails an egalitarian love- hence the Christian code to "love thy enemies" (Matthew 5:44- 45). Such love transcends any perfectionist or aristocratic notions that some are (or should be) more loveable than others. Agape finds echoes in the ethics of Kant and Kierkegaard, who assert the moral importance of giving impartial respect or love to another person qua human being in the abstract.
However, loving one's neighbor impartially (James 2:9) invokes serious ethical concerns, especially if the neighbor ostensibly does not warrant love. Debate thus begins on what elements of a neighbor's conduct should be included in agape, and which should be excluded. Early Christians asked whether the principle applied only to disciples of Christ or to all. The impartialists won the debate asserting that the neighbor's humanity provides the primary condition of being loved; nonetheless his actions may require a second order of criticisms, for the logic of brotherly love implies that it is a moral improvement on brotherly hate. For metaphysical dualists, loving the soul rather than the neighbor's body or deeds provides a useful escape clause-or in turn the justification for penalizing the other's body for sin and moral transgressions, while releasing the proper object of love-the soul-from its secular torments. For Christian pacifists, "turning the other cheek" to aggression and violence implies a hope that the aggressor will eventually learn to comprehend the higher values of peace, forgiveness, and a love for humanity.
The universalism of agape runs counter to the partialism of Aristotle and poses a variety of ethical implications. Aquinas admits a partialism in love towards those we are related while maintaining that we should be charitable to all, whereas others such as Kierkegaard insist on impartiality. Recently, LaFallotte has noted that to love those one is partial towards is not necessarily a negation of the impartiality principle, for impartialism could admit loving those closer to one as an impartial principle, and, employing Aristotle's conception of self-love, iterates that loving others requires an intimacy that can only be gained from being partially intimate ("Personal Relations", Blackwell Companion to Ethics). Others would claim that the concept of universal love, of loving all equally, is not only impracticable, but logically emptyAristotle, for example, argues: "One cannot be a friend to many people in the sense of having friendship of the perfect type with them, just as one cannot be in love with many people at once (for love is a sort of excess of feeling, and it is the nature of such only to be felt towards one person)" (NE,
VIII.6).

[+/-] ReadMore...

The Nature of Love: Eros, Philia, and Agape

The philosophical discussion regarding love logically begins with questions concerning its nature. This implies that love has a 'nature', a proposition that some may oppose arguing that love is conceptually irrational, in the sense that it cannot be described in rational or meaningful propositions. For such critics, who are presenting a metaphysical and epistemological argument, love may be an ejection of emotions that defy rational examination; on the other hand, some languages, such as Papuan do not even admit the concept, which negates the possibility of a philosophical examination. In English, the word 'love', which is derived from Germanic forms of the Sanskrit lubh (desire), is broadly defined and hence imprecise, which generates first order problems of definition and meaning, which are resolved to some extent by the reference to the Greek terms, eros, philia, and agape.

[+/-] ReadMore...

Philosophy of Love

philosophy sex, love, moral, eros, agape, philia
The philosophical treatment of love transcends a variety of subdisciplines including epistemology, metaphysics, religion, human nature, politics and ethics. Often statements or arguments concerning love, its nature and role in human life
for example, connect to one or all the central theories of philosophy, and is often compared with, or examined in the context of, the philosophies of sex and gender. The task of a philosophy of love is to present the appropriate issues in a cogent manner, drawing on relevant theories of human nature, desire, ethics, and so on. This brief introduction examines the nature of love and some of the ethical and political
ramifications.

[+/-] ReadMore...

Need us. Just contact in: themodernphilosophy@gmail.com
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.

(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)