Get paid To Promote at any Location
Pertengahan Oktober 2009, saya coba mengikuti Paid-To-Promote.Net. Eh, ternyata tanggal 30 Oktober, sudah dibayar, walau hanya 0,93 dolar ke paypal saya. Program ini mempunya keteraturan membayar setiap tanggal 15 dan 30, berapapun nilai dolar yang kita dapat. Tak perlu nunggu 100 dolar seperti program lain. Bagaimana cara mengikutinya? Mudah saja, silakan register dengan referal saya. Jika Anda referal saya, maka Anda akan saya bimbing. Klik saja kata iklan tulisan "Get Paid to Promote at Any Location!"
berwarna pink di atas ini.

Ini contoh recehan dollarnya...

AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00

Hello Rakadewa,

chen zirong just sent you money with PayPal.

Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30

Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.

Thursday, April 30, 2009

Melacak Suami/Isteri/Anak/Pacar BAHKAN Penelpon Gelap Melalui HP

Dengan kecanggihan GPS-TRACK satellite network saat ini, kita bisa mengetahui lokasi orang dari no HP.
Mulai sekarang kita bisa melacak suami/istri/ anak/pacar atau mungkin penelpon gelap dimana keberadaannya. .. asyik kan ...via satelit coy !!!
Buruan - mumpung masih gratis...
Mudah2an teknologi ini tidak bersifat sementara, jadi bisa kita manfaatkan selamanya... .
Caranya?:





1. Browsing ke http://www.sat- gps-locate. com/
2. Masukkan no HP ( mis No. 081366592333 masukkan 8136- 6592333)
3. Tunggu 1 menit, satellite akan melacak dimana posisi pemegang HP
4. Akan diketahui kondisi orang yang kita cari

ATAU ketik di HP *250# khusus utk kartu telkomsel

SELAMAT MENCOBA !!!



[+/-] ReadMore...

Wednesday, April 29, 2009

HABERMAS Tentang Demokrasi

"Rekan-rekan se-Tanah Air INDONESIA, Detik-Detik Menjelang PEMILU 2009 kian dekat. Kita bersyukur karena negara kita adalah negara yang berdemokrasi. Ada baiknya jika kita sejenak berdialog dengan Filsuf Besar Modern abad 21 ini, HABERMAS, tentang Demokrasi:"


Semenjak runtuhnya komunisme, Habermas mulai mengalihkan sebagian perhatiannya pada analisa tentang proses demokrasi dalam era pasca komunisme. Menurutnya: “..... dalam keadaan suatu politik yang sepenuhnya sekular, negara hukum tanpa demokrasi radikal tidaklah dapat dimiliki dan tidak dapat dipertahankan. ....”

Habermas berangkat dari perhatiannya pada perkembangan dan perubahan masyarakat dalam era modern. Masyarakat mengalamai perkembangan pesat sebagai akibat dari proses modernisasi. Sistem-sistem dalam masyarakat mulai mengembangkan belalai-belalainya dan mengatur komunikasi dalam masyarakat. Menurutnya, sistem dalam masyarakat kapitalis semakin membesar sedangkan lebenswelt (dunia kehidupan) semakin mengecil. Sistem mulai mengatur setiap langkah masyarakat yang ada di dalamnya.
Akibatnya, komunikasi tidak lagi menyentuh pada persoalan, kurang santai, tegang dan sarat konflik. Semua hal dalam relasi masyarakat menjadi semakin sistematis sesuai dengan apa yang dikehendaki para kapitalis. Tiga elemen dalam pemikiran Habermas, yakni negara, pemodal, dan masyarakat tidak lagi berjalan sendiri tetapi diatur oleh kapital. Lebih dari itu, Negara pun menjadi bagian dari kaum kapital itu. Padahal, menurut Habermas, demi suatu integrasi sosial yang diperlukan adalah lebenswelt di mana di dalamnya terjadi komunikasi/proses diskursif. Proses diskursif itu haruslah melibatkan semua elemen dalam lebenswelt.
Habermas menyadari bahwa dalam lebenswelt ada pembatasan secara faktual peran setiap individu. Pembatasan ini mengakibatkan adanya pengurangan dalam peran-peran setiap individu. Untuk itu diperlukan hukum. Bagaimana? Habermas mengatakan demikian, “... bahwa hanya undang-undang yuridis yang di dalam proses diskursif pengesahan hukum yang dimengerti secara legal dapat disetujui oleh semua subjek hukum boleh mengklaim tatanan yang legitim...”
Demokrasi radikal yang dimaksudkan habermas dalam kutipan dia atas mendasarkan dirinya pada prinsip diskursus yang menekankan partisipasi serta kesetaraan antara warga masyarakat dalam praktik debat publik, yang melibatkan mereka yang berkepentingan atas keputusan itu. Artinya, segala keputusan publik harus melibatkan semua elemen masyarakat, yang nantinya akan terkena dampak dari keputusan tersebut dalam diskursus publik yang setara dan bebas dominasi. Karena adanya diskursus ini, maka terjadi perbincangan dalam ruang publik, yang terus menerus. Proses seperti inilah yang disebut sebagai sebuah Demokrasi Deliberatif (Demokrasi bersifat deliberatif jika “proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik.” (F. Budi Hardiman, “Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?”, dalam Basis, no. 11-12, Nov-Des 2004, hl. 18).

[+/-] ReadMore...

HABERMAS at Deliberative Democracy

“My Friends in INDONESIA, Now, is GENERAL ELECTION 2009. We are grateful because our state [is] state which democratizing. It is better if us a moment dialogue with Modern Big Philosopher [of] 21 century this, HABERMAS, about Democracy:"

Since collapse communism him, Habermas start to transfer some of its attention analysis about process democratize in era of past communism. According to him “..... At a state of politics which fully secular, body politic without radical democracy is not can have and is indefensible ....”
Habermas leave from its attention growth and change of society in modern era. Society experiences of fast growth in consequence of modernization process. Systems in society start to develop its trunks and arrange communications in society. According to him, system in big capitalists society progressively while lebenswelt (world life) progressively minimize. System start to arrange at every society step exists in depth.

As a result, communications shall no longer touch at problem, less easy going, strained and is loaded of conflict. All the things in society relationship become systematic progressively as according to what desired all capitalist. Three elements in idea of Habermas, namely state, capital, and society shall no longer walk by it but arranged by capital. More than that, State even also become the part of clan of capital that. Though, according to Habermas, for the shakes of a social integration the needed is lebenswelt where in him happened communications/process discursive. Process that discursive shall entangle all elements in lebenswelt. Habermas realize that in lebenswelt there is demarcation by factual role each individual. This demarcation result the existence of reduction in roles each individual. For that needed by law. How? Habermas tell that way “... that only law of law which in process of discursive authentication of law understood legally can agree by all law subject may claim rules which is legitimate...”
Radical democracy which meant by Habermas in citation he is to the basing itself a] principle of discursive emphasizing participation and also equivalence [among/between] society citizen in public debate practice, which entangle them which is have importance [to] of that decision. Its meaning, all decision of publics have to entangle all society elements, what later will be hit by impact of the decision in free and equivalent public discourses [of] domination. Caused by this discourses, hence happened conference in public room, continuous. Process like conceived of by this a Democracy of Deliberative Democracy have the character of deliberative if “gift process a reason of to the candidate policy of public tested in advance pass public consultancy or pass public discourses.” ( F. Kindness of Hardiman, “Democratize Deliberative: Model for the Indonesia of Pasca-Soeharto?”, in Bases, no. 11-12, Nov-Des 2004, hl. 18).


[+/-] ReadMore...

Saturday, April 25, 2009

Life and Work


Sartre, Jean Paul (1905-80), French philosopher, dramatist, novelist, and political journalist, who was a leading exponent of existentialism.

Sartre was born in Paris, June 21, 1905, and educated at the Écôle Normale Supérieure in Paris, the University of Fribourg in Switzerland, and the French Institute in Berlin. He taught philosophy at various lycées from 1929 until the outbreak of World War II, when he was called into military service. In 1940-41 he was imprisoned by the Germans; after his release, he taught in Neuilly, France, and later in Paris, and was active in the French Resistance. The German authorities, unaware of his underground activities, permitted the production of his antiauthoritarian play The Flies (1943; trans. 1946) and the publication of his major philosophic work Being and Nothingness (1943; trans. 1953). Sartre gave up teaching in 1945 and founded the political and literary magazine Les Temps Modernes, of which he became editor in chief. Sartre was active after 1947 as an independent Socialist, critical of both the USSR and the United States in the so-called cold war years. Later, he supported Soviet positions but still frequently criticized Soviet policies. Most of his writing of the 1950s deals with literary and political problems. Sartre rejected the 1964 Nobel Prize in literature, explaining that to accept such an award would compromise his integrity as a writer. Sartre's philosophic works combine the phenomenology of the German philosopher Edmund Husserl, the metaphysics of the German philosophers G. W. F. Hegel and Martin Heidegger, and the social theory of Karl Marx into a single view called existentialism. This view, which relates philosophical theory to life, literature, psychology, and political action, stimulated so much popular interest that existentialism became a worldwide movement.

Critique of Dialectical Reason

In his later philosophic work Critique of Dialectical Reason (1960; trans. 1976), Sartre's emphasis shifted from existentialist freedom and subjectivity to Marxist social determinism. Sartre argued that the influence of modern society over the individual is so great as to produce serialization, by which he meant loss of self. Individual power and freedom can only be regained through group revolutionary action. Despite this exhortation to revolutionary political activity, Sartre himself did not join the Communist party, thus retaining the freedom to criticize the Soviet invasions of Hungary in 1956 and Czechoslovakia in 1968. He died in Paris, April 15, 1980.

Other Writings


Sartre's other works include the novels Nausea (1938; trans. 1949) and the unfinished series Les chemins de la liberté (The Roads of Liberty), comprising The Age of Reason (1945; trans. 1947), The Reprieve (1945; trans. 1947), and Troubled Sleep (1949; trans. 1951); the biography of the controversial French writer Jean Genet, Saint Genet, Actor and Martyr (1952; trans. 1952); the plays No Exit (1944; trans. 1946), The Respectful Prostitute (1946; trans. 1947), and The Condemned of Altona (1959; trans. 1961); his autobiography, The Words (1964; trans. 1964); and a biography of the French author Gustave Flaubert (3 vol., 1971-72).


[+/-] ReadMore...

Friday, April 17, 2009

Ajaran tentang Monade

Leibniz memandang dan melihat realitas sebagai dan terdiri dari banyak substansi. Substansi ini dinamakannya dengan monad. Monad memiliki akar kata monos : satu; monad:satu unit. Monad baginya merupakan suatu kesatuan terkecil dalam metafisika. Yang dimaksudkan dengan terkecil di sini tidak dalam arti ukuran melainkan berarti tidak berkeluasan. Monad itu bukan benda jasmaniah melainkan kenyataan mental (non-material) yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa monad merupakan kesadaran diri tertutup, sejajar dengan apa yang dikatakan dengan cogito oleh Cartesius.

Dengan kata lain, sebagai substansi nonmaterial, monade bersifat:
  1. Abadi, tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan;
  2. Tidak bisa dibagi (bertentangan dengan substansi “keluasan” Descartes yang mengandaikan sifat dapat dibagi);
  3. Individual atau berdiri sendiri, sehingga tidak ada monade yang identik dengan monade lain (bertentangan dengan Spinoza: Allah atau alam);
  4. Mewujudkan kesatuan yang tertutup, atau kata Leibniz sendiri: “tidak berjendela seolah-olah bisa masuk atau keluar” ; namun
  5. Mampu bekerja berkat daya aktif dari dalam dirinya sendiri. Kerja dari dan oleh dirinya sendiri ini terdiri dari kegiatan mengamati dan menginginkan. Karena inilah, Leibniz mendefinisikan monade sebagai “atom-atom sejati dari alam” dan hanya apabila monade tersebut ada dalam “jasad-jasad organik” , maka monade-monade itu akan menjadi “prinsip kehidupan”.
Penjelasan Leibniz tentang monad menimbulkan persoalan yang cukup pelik. Hal ini berkaitan dengan pengenalan realitas yang ada di luar diri. Bagaimana monad-monad itu saling mengenal sebab monad itu “tidak berjendela”? Berkaitan dengan hal ini, Leibniz menjelaskan pengenalan terhadap kenyataan sebagai berikut. Monad itu memiliki sifat-sifat yang jumlahnya tidak terhingga sehingga keberadaan suatu monad mencerminkan keberadaan seluruh alam semesta dari sudut pandangnya. Suatu monad mencerminkan monad lainnya. Namun demikian, dalam pengenalan tersebut ada tingkat-tingkat kejelasannya. Berdasarkan tingkat kejelasan pengamatan itu, monade dapat dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, monade yang hanya memiliki gambaran gelap dan sama sekali tidak disadari, yakni monade-monade yang menyusun benda-benda organik. Kedua, monade yang telah memiliki gambaran agak terang, yaitu monade yang memberi pengenalan indrawi dan memori, misalnya monade-monade penyusun manusia dan hewan. Ketiga, monade yang memiliki gambaran yang terang dan kesadaran diri (apperceptio), yakni jiwa manusia ynag mengenal hakikat segala sesuatu secara sadar dan mampu mengungkapkan apa yang dilihatnya ke dalam suatu definisi.
Konsep Leibniz tentang ketertutupan dan sifat isolatif monade ternyata menyisakan pula perihal keteraturan atau keharmonisan yang terjadi dalam monade itu. Berhadapan dengan pertanyaan tentang dari mana datangnya atau yang menjadi sumber keteraturan itu, Leibniz akan menjelaskannya sebagai berikut. Bagi Leibniz, Allah, pada saat penciptaan, telah mengadakan keselarasan yang telah ditentukan sebelumnya (pre-established harmony) di antara monad-monad. Dengan demikian, meskipun monad itu berdiri sendiri, mereka tokh cocok satu sama lain sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka berinteraksi satu sama lain. Moment atau peristiwa yang terjadi pada satu monad cocok dengan peristiwa yang terjadi pada monad lain. Jadi hubungan yang timbal balik di antara monad-monad hanya kelihatannya ada.
Bagi Leibniz, adanya keteraturan yang harmonis dalam jagad raya menunjukkan keberadaan Allah. Fakta ini juga memperlihatkan bahwa dunia kita adalah dunia yang paling baik dari semua dunia yang mungkin pernah ada sebagai ciptaan. Pandangan ini lebih lanjut akan diuraikan dalam pembuktian akan adanya Allah. Dari uraian dan kaitannya tentang monade, Leibniz kemudian mengatakan bahwa Allah itu adalah juga monad, tetapi bukan sembarang monad melainkan monad purba (Urmonade) yang merupakan aktivitas murni, actus purus.


[+/-] ReadMore...

Hidup dan Karya


Gottfried Wilhem Leibniz (1646-1716) dilahirkan pada, 1 Juli 1646, di Leibzig, Jerman. Ayahnya seorang profesor filsafat moral. Ia mengikuti sekolah formal selama ayahnya masih hidup. Setelah ayahnya meninggal (1652), ia belajar di rumah dan belajar sendiri dari literatur-literatur Jerman dan Latin peninggalan ayahnya. Sewaktu masih mahasiswa, ia mempelajari ilmu hukum, filsafat, dan matematika. Pada usia 17 tahun ia menulis “Tentang Prinsip Individu” dan sejak saat itu masalah individualitas menjadi tema favoritnya. Pada tahun 1666, Leibniz memperoleh gelar doktor dalam bidang hukum. Selanjutnya ia menjalani berbagai bidang pekerjaan: sebagai diplomat, ahli sejarah, matematika, fisika, ilmu pengetahuan alam, teologi dan filsafat. Karyanya yang lain adalah menciptakan mesin hitung sederhana, ikut mengelola rumah sakit, sekolah, penerangan kota, dan dinas pemadam kebakaran. Kesibukannya yang banyak ini membuatnya tidak sempat mensistematisasikan filsafatnya. Karyanya ini kemudian disistematisasikan oleh Christian von Wolff (1679-1716). Pemikiran Leibniz (filsafatnya) ini berkuasa di Jerman hingga kemunculan filsafat Kant.

[+/-] ReadMore...

Monday, April 13, 2009

Life and His Work


Sigmund Freud (1856-1939), Austrian physician and founder of psychoanalysis. Through his skill as a scientist, physician, and writer, he created an entirely new approach to the understanding of human personality by bringing together ideas prevalent at the time, along with his own observation and study, into a major theory of psychology. Most importantly, he applied these ideas to medical practice in the treatment of mental disorders. These newly created psychotherapy treatments and procedures, many of which in modified form are applied today, were based on his understanding of unconscious thought processes and their relationship to neurotic symptoms. Regarded with scepticism at the time, Freud’s ideas have waxed and waned in acceptance ever since. Nevertheless, he remains regarded as one of the greatest creative minds of the 20th century.
Freud was born into a middle-class Jewish family in Freiberg, Moravia (now Pribor in the Czech Republic) on May 6, 1856. When he was three years old, the family was forced to flee riots that characterized the strong anti-Semitic feeling that prevailed within the Austro-Hungarian Empire. After a brief period in Leipzig the family settled in Vienna, where Freud remained for most of his life. At school the young Freud was at first drawn towards study of the law, but on reading the work of Charles Darwin he became intrigued by the rapidly developing sciences of the day. Especially inspired by the scientific investigations of Johann Wolfgang von Goethe, he decided to become a medical student based on his having heard Goethe’s essay on nature read aloud shortly before he left school.

Freud’s medical education began in Vienna in 1873 when he was 17. At 20, he was drawn to further study of the central nervous system under the tutelage of the German neurologist Ernst Wilhelm von Brücke. This delayed his graduation in medicine until 1881, by which time he was 25 and had also completed a year of compulsory military service. He remained at the university as a demonstrator in the physiology laboratory continuing his wide-ranging studies, which included researches into the drug cocaine, and the condition of cerebral palsy. He explored the neurophysiology of aphasia and agnosia, terms he applied to the neurological disorders of communication and recognition. Largely at von Brücke’s insistence, Freud relinquished his research interests temporarily to gain clinical experience in psychiatry, dermatology, and nervous diseases, as resident physician to the General Hospital of Vienna. After three years he was to return to the university, where he was appointed lecturer in neuropathology.
His contributions included The Psychopathology of Everyday Life (1902), Jokes and Their Relationship to the Unconscious (1905), Three Essays on Sexuality (1905), Totem and Taboo (1913), New Introductory Lectures on Psychoanalysis (1933), in which he added further revisions to his theory, The Ego and the Id (1923), and Moses and Monotheism (1939).

Once again threatened with religious persecution, renewed as a result of the German annexation of Austria in 1938, Freud escaped with his family to England. He died in London on September 23, 1939.

Freud’s ideas have stood the test of time. They are revisited by other schools of psychology and neuroscience as these various disciplines attempt to refine our still uncertain understanding of human mental processes. Despite their opposition, Adler and Jung and other successors further studied and modified many of his concepts. These concepts are fundamental to so many of the variants of psychoanalysis now in existence, and have evolved with it.

[+/-] ReadMore...

Friday, April 3, 2009

Hukum, Hakikat dan Prinsip Pemerintahan, dan Tentang Kebebasan

Hukum
Hukum adalah relasi-relasi yang niscaya sebagaimana mereka dapat disimpulkan dari hakekat kenyataan. Dalam arti ini, segala hakekat memiliki hukum mereka sendiri. Sebelum hukum dibuat, ada hubungan-hubungan keadilan yang mungkin. Secara umum, hukum berlaku sejauh akal budi itu memerintah semua bangsa di dunia ini. Hukum-hukum negara dan warga negara setiap negara tak lain dari kasus-kasus khusus penerapan akal budi tersebut. Hukum tertinggi dalam negara adalah kesejahteraan rakyat.
Hukum kodrat mendahului segala hukum. Ia bertolak dari ciri-ciri hakiki kita, keadaan alamiah kita. Karena kita hidup dalam masyarakat yang harus tetap utuh, hukum harus ada untuk mengatur hubungan antara masyarakat dengan pemerintah (hukum nasional) dan hubungan antar masyarakat (hukum sipil). Hukum itu harus berkaitan dengan tingkat kebebasan yang akan dituangkan dalam undang-undang, dengan agama yang dianut penduduk, dengan kecenderungan mereka, kekayaan, jumlah, perdagangan, sopan-santun, adat istiadat penduduknya, dengan asal-usul mereka, dengan maksud para pembuat undang-undang, dan dengan tatanan berbagai hal yang digunakan untuk membuat hukum. Inilah yang dimaksud Montesquieu dengan jiwa undang-undang.

Hakikat dan Prinsip Pemerintahan
Ada tiga jenis pemerintahan, yaitu Republik, Monarki dan Despotis. Untuk menemukan hakekatnya, cukuplah kita mengumpulkan kembali pengertian umum yang mengandaikan adanya tiga fakta pemerintahan tersebut. Suatu pemerintahan republik adalah pemerintahan yang tubuhnya atau sebagian rakyatnya memiliki kekuasaan tertinggi. Monarki adalah pemerintahan yang yang dipegang oleh satu orang berdasarkan hukum-hukum yang pasti dan tetap. Sedangkan despotis adalah pemerintahan yang diperintah oleh satu orang yang menentukan serta mengatur segala sesuatu berdasarkan kemauannya dan perubahan pikirannya sendiri. Pemerintahan republik masih dibedakan menjadi dua macam lagi, yaitu aristokrasi dan demokrasi.
Dalam setiap bentuk pemerintahan tersebut, ada prinsipnya sendiri-sendiri. Dalam pemerintahan demokrasi, diperlukan keutamaan untuk menjalankan pemerintahan. Orang yang dipercaya untuk menjalankan hukum sadar bahwa dirinya tunduk pada hukum. Dalam aristokrasi, keutamaan bukan syarat mutlak. Rakyat dikendalikan oleh hukum pemerintahan. Kaum bangsawan membentuk suatu lembaga yang dengan hak istimewa dan demi kepentingan khusus mengendalikan rakyat. Dalam pemerintahan ini, sudah cukuplah bahwa ada hukum yang berfungsi untuk mengawasi bahwa undang-undang dijalankan.
Lain lagi dengan pemerintahan monarki. Keutamaan bukanlah prinsip. Yang ditekankan dalam pemerintahan ini adalah hormat terhadap penguasa. Kebijaksanaan penguasa berpengaruh dalam banyak hal. Rasa hormat yang ada dalam monarki berubah menjadi ketakutan dalam pemerintahan despotis, tidak ada tempat untuk keutamaan, dan kehormatan dianggap sangat berbahaya. Kekuasaan yang dimiliki penguasa sangat besar dan dia hanya mempercayakan kekuasaannya itu kepada orang-orang yang dianggap dapat menguntungkan dirinya.

Tentang Kebebasan
Konsep tentang kebebasan ini dapat mempunyai arti yang berbeda-beda di hadapan bangsa yang berbeda-beda pula. Sebagian orang mengatakan bahwa kebebasan adalah hak untuk menggulingkan penguasa tiran. Yang lain lagi mengaitkannya dengan kekuasaan untuk memilih pemimpin yang akan mereka taati. Ada juga yang menyamakannya dengan hak untuk membawa senjata dan dengan demikian juga kemampuan untuk menggunakan kekerasan. Arti kebebasan tersebut muncul dari kebiasaan serta kebiasaan yang cocok dengan mereka sendiri.
Menurut Montesquieu, kebebasan politik bukan berarti kemerdekaan tanpa batas, bukan keadaan terpaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Kebebasan ialah hak untuk melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum. Bila seorang warga negara boleh melakukan apa yang dilarang oleh hukum, sebenarnya dia tak lagi memiliki kebebasan, karena dengan demikian semua warga negara yang lain akan mempunyai kekuasaan yang sama.
Kebebasan politik warga negara ialah ketenangan pikiran yang muncul bahwa tiap-tiap orang berada dalam keadaan aman. Untuk mendapatkan kebebasan ini, syaratnya adalah pemerintahan harus diberi wewenang sedemikian rupa sehingga tak seorang pun perlu takut pada orang lain.
Berdasarkan pemikiran itulah muncul pandangan Montesquieu yang terkenal dengan sebutan Trias Politica : eksekutif, legislatif, yudikatif. Kekuasaan legislatif memberlakukan undang-undang yang bersifat sementara atau tetap, dan mengubah atau menghapus undang-undang yang telah diberlakukan. Berdasarkan undang-undang yang telah dibuat itu, penguasa eksekutif menyatakan perang atau damai dan mengirimkan atau menerima duta, menjamin keamanan umum serta menghalau musuh yang masuk. Penguasa yudikatif menghukum para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul di antara orang perseorangan.

[+/-] ReadMore...

Analisis Rousseau tentang Perbudakan


“Kodrat – Hakekat Manusia”

Rousseau mempergunakan tesis Aristoteles sebagai pijakan dalam memikirkan Kondisi Alamiah Manusia. Menurut Aristoteles kondisi alamiah manusia adalah suatu keadaan ter-determinasinya manusia oleh realita sejak awal manusia hadir di dunia ini.
Kekeliruan Aristoteles ditunjukkan dalam Antitesis Rousseau mengenai hakekat dan kodrat kemanusiaan. Menurut Rousseau yang ditunjukkan oleh Aristoteles akan sifat ter-determinasinya NASIB manusia adalah suatu kondisi kodrat yang dipilih oleh manusia dalam memaknai hidupnya sendiri.
Mengapa manusia terdeterminasi hidupnya, Rousseau menjelaskan analisisnya mengenai perbudakan dalam dua kemungkinan :

  1. Seseorang yang dilahirkan dalam institusi perbudakan sudah ditentukan kodrat hidupnya sebagai budak untuk kepentingan institusi itu. Artinya secara determinatif seorang manusia yang dilahirkan dalam suatu sistem yang lebih kuat daripada lingkungan keluarganya sudah pasti akan menjalani suatu kodrat/ takdir yang sudah dipolakan oleh lingkungan makronya.
  2. Bahwa hakekat/ kondisi alamiah manusia adalah suatu kebebasan yang sama. Namun demikian, manusia senantiasa memiliki sifat keterbelengguan. Pikiran bahwa ada yang lebih hebat daripada saya atau yang lebih lemah daripada saya mempengaruhi cara pandang manusia atas hidupnya. Kalau manusia terlalu dipengaruhi dan tak dapat melepaskan dirinya dari sistem yang menguasainya atau malah melestarikannya dengan sikap pengecutnya maka manusia-budak (ber-kodrat budak) akan tetap menjadi budak selamanya.

[+/-] ReadMore...

Love: Ethics and Politics


The ethical aspects in love involve the moral appropriateness of loving, and the forms it should or should not take. The subject area raises such questions as: is it ethically acceptable to love an object, or to love oneself? Is love to oneself or to another a duty? Should the ethically minded person aim to love all people equally? Is partial love morally acceptable or permissible (i.e., not right, but excusable)? Should love only involve those with whom the agent can have a meaningful relationship? Should love aim to transcend sexual desire or physical appearances? May notions of romantic, sexual love apply to same sex couples? Some of the subject area naturally spills into the ethics of sex, which deals with the appropriateness of sexual activity, reproduction, hetero and homosexual activity, and so on.

In the area of political philosophy, love can be studied from a variety of perspectives. For example, some may see love as an instantiation of social dominance by one group (males) over another (females), in which the socially constructed language and etiquette of love is designed to empower men and disempower women. On this theory, love is a product of patriarchy, and acts analogously to Marx's view of religion (the opiate of the people) that love is the opiate of women. The implication is that were they to shrug off the language and notions of 'love', 'being in love', 'loving someone', and so on, they would be empowered. The theory is often attractive to feminists and marxists, who view social relations (and the entire panoply of culture, language, politics, institutions) as reflecting deeper social structures that divide people into classes, sexes, and races.

This article has touched on some of the main elements of the philosophy of love. It reaches into many philosophical fields, notably theories of human nature, the self, and of the mind. The language of love, as it is found in other languages as well as in English, is similarly broad and deserves more attention.

[+/-] ReadMore...

Need us. Just contact in: themodernphilosophy@gmail.com
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.

(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)