Antropologia E. Lévinas dicirikan oleh dua gagasan fundamental. Pertama, kritik radikal terhadap ‘egologia’ yang didasarkan pada ‘cogito’ Descartes. Kedua, penegasan akan ‘yang lain’ sebagai paling utama, sebagai kebenaran fundamental manusia.
Setiap interpretasi manusia yang didasarkan pada pengutamaan ‘cogito’ dan orientasi pada dunia material, menurut Lévinas, menandakan keinginan akan kekuasaan dan dicemarkan oleh mitos totalitas. Hal itu berlaku juga bagi filsafat eksistensi yang menggantikan cogito (aku berpikir) dengan volo (aku berkehendak), ago (aku berbuat) dan possum (aku mampu), yang berada secara fundamental dalam kerangka egologia.
Pada tataran pengetahuan antropologi yang dikuasai oleh ego terungkap tendensi untuk mereduksi realitas pada rasio eksplisit. Terutama dalam idealisme, yang merupakan ekspresi langsung prinsip antropologi yang dikemukakan Descartes, realitas ‘dibentuk’ oleh rasio. Mengetahui realitas berate mereduksi segala hal dalam kesatuan yang sama dari system rasional yang dipikirkan oleh ego. Segala hal yang di luar dan berbeda harus direduksi dalam realitas rasional. Tujuan yang mau dicapai dengan interpretasi manusia demikian, adalah ‘Aku’ yang memperluas diri, sedemikian rupa sehingga mampu dengan satu pandangan atau dengan satu formula memahami realitas dengan segala perbedaannya, dengan mereduksi semua pada totalitas dan mengeliminir setiap perbedaan.
Pada tataran etis, interpretasi manusia tersebut didominasi oleh penegasan diri: realisasi-diri, afirmasi-diri dengan mengorbankan orang lain, mencapai tujuan dengan menggunakan yang lain sebagai sarana. Manusia menjadi penentu hukum dirinya sendiri, menilai semuanya dengan rasio.
Pada tataran sosial dan politik, gagasan tentang penegasan ego dan orientasi utama menuju realitas dunia, mencakup gagasan imperialisme. Hal itu menumbuhkan perang, yang tidak lain adalah usaha memperpanjang kekuasaan atas orang lain dengan menyingkirkannya dan memperbudaknya untuk tujuannya sendiri.
Pada tataran metafisik dan religius, antropologia egologia itu, dengan mengabikan perjumpaan dengan yang lain, menjadi tertutup dalam sejarah. Tak ada ruang bagi transendensi. Dimensi metafisika mengalamai atrofi. Ateisme merupakan konsekuensi dari interpretasi imanen manusia tersebut.
Egologia tersebut menempatkan totalitas pada pusat, yang setiap kali mencabut aspek-aspek lain dan berakhir dengan mengorbankan ‘yang tunggal’ pada sistem. Sejarah Eropa memberikan lukisan ketragisan mitos egologia, yaitu ego yang mandiri, yang mengutamakan hubungan dengan dunia dalam relisasi dirinya. Ketragisan egologia itu terwujud dalam darah dan penderitaan, dalam perang dank am konsentrasi.
Gagasan sentral kedua dari antropologi antarpersonal Lévinas adalah pengutamaan ‘yang lain’ yang dilukiskan dengan ‘epifani wajah’. Di sini terimplikasi dua hal fundamental: 1). Kepastian ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ membawa manusia kepada pengalaman metafisika dan religius; 2). Pengakuan ‘yang lain’ tidak hanya terjadi pada tingkat hubungan intim dan prive, tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif.
Yang lain mengungkapkan diri dan memanifestasikan diri (epifani). Kehadirannya sama sekali berbeda dari benda-benda objektif, yang kehilangan rahasianya manakala disinari dengan akal budi. Pengetahuan benda-benda adalah pengungkapan, yang tergantung pada inisiatif orang. Dengan pertanyaan yang kita ajukan benda-benda keluar dari persembunyiannya dan memberi pengetahuan pada kita. Berbeda sekali perjumpaan dengan manusia ‘yang lain’. ‘Yang lain’ bukanlah yang saya formulasikan dengan teori saya. ‘Yang lain’ menembus eksistensiku, menghadirkan dirinyak, menampak dengan sinarnya sendiri, menghadirkan diri dengan kepastian tak terbatah. Ia hadir sebagai benar-benar ‘yang lain’, yaitu sebagai pengada yang sama sekali tidak ditentukan oleh penalaran saya dan kerenanya juga tidak terselibkan dalam totalitas rasional. Tak bias tidak aku mengakui kehadirannya.
‘Epifani’ wajah adalah kehadiran langsung (dilambangkan dengan keterlanjangan wajah) dari ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’, yang menentang setiap bentuk totalitas.
Kepastian atau pengakuan akan ‘yang lain’ (pada taraf kognitif dan metafisik) tak pernah terpisahkan dari pengakuan konkrit yang lain dalam dunia, maka tak terpisahkan dari dimensi etika. Keterlanjangan wajah adalah juga kehadiran yang terpinggirkan, setiap manusia yang menghendaki menjadi ‘seseorang’ dihadapan yang lain, yang ingin diperlakukan sebagai ‘yang lain’. Pengakuan itu merupakan pengakuan objektif dalam keadilan dan kebaikan hati. Di sini letak perbedaan dengan G. Marcel dan Martin Buber yang terlalu membatasi diri pada tingkat pribadi.
Lévinas tidak hanya mengutamakan hubungan dengan yang lain, tetapi juga meletakkan superioritas Anda dalam hubungana dengan Aku. ‘Yang lain’ adalah dia yang melihat dari ‘yang lain’, yang menuntut dan memiliki hak untuk menuntut. Hubungan antarpersonal adalah secara fundamental asimetrik. Yakni memperlakukan ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ yang tidak sama dengan kiri saya.
Sebagaimana Buber dan Marcel, hubungan antarpersonal adalah tempat dimana ‘Yang Lain’, yaitu Allah, mewahyukan diri. Menemukan diri bertatap wajah dengan sesama, adalah juga menemukan diri dihadapan Yang Maha Tinggi. ‘Dimensi ilahi terbuka dengan berangkat dari wajah manusiawi’.
Setiap interpretasi manusia yang didasarkan pada pengutamaan ‘cogito’ dan orientasi pada dunia material, menurut Lévinas, menandakan keinginan akan kekuasaan dan dicemarkan oleh mitos totalitas. Hal itu berlaku juga bagi filsafat eksistensi yang menggantikan cogito (aku berpikir) dengan volo (aku berkehendak), ago (aku berbuat) dan possum (aku mampu), yang berada secara fundamental dalam kerangka egologia.
Pada tataran pengetahuan antropologi yang dikuasai oleh ego terungkap tendensi untuk mereduksi realitas pada rasio eksplisit. Terutama dalam idealisme, yang merupakan ekspresi langsung prinsip antropologi yang dikemukakan Descartes, realitas ‘dibentuk’ oleh rasio. Mengetahui realitas berate mereduksi segala hal dalam kesatuan yang sama dari system rasional yang dipikirkan oleh ego. Segala hal yang di luar dan berbeda harus direduksi dalam realitas rasional. Tujuan yang mau dicapai dengan interpretasi manusia demikian, adalah ‘Aku’ yang memperluas diri, sedemikian rupa sehingga mampu dengan satu pandangan atau dengan satu formula memahami realitas dengan segala perbedaannya, dengan mereduksi semua pada totalitas dan mengeliminir setiap perbedaan.
Pada tataran etis, interpretasi manusia tersebut didominasi oleh penegasan diri: realisasi-diri, afirmasi-diri dengan mengorbankan orang lain, mencapai tujuan dengan menggunakan yang lain sebagai sarana. Manusia menjadi penentu hukum dirinya sendiri, menilai semuanya dengan rasio.
Pada tataran sosial dan politik, gagasan tentang penegasan ego dan orientasi utama menuju realitas dunia, mencakup gagasan imperialisme. Hal itu menumbuhkan perang, yang tidak lain adalah usaha memperpanjang kekuasaan atas orang lain dengan menyingkirkannya dan memperbudaknya untuk tujuannya sendiri.
Pada tataran metafisik dan religius, antropologia egologia itu, dengan mengabikan perjumpaan dengan yang lain, menjadi tertutup dalam sejarah. Tak ada ruang bagi transendensi. Dimensi metafisika mengalamai atrofi. Ateisme merupakan konsekuensi dari interpretasi imanen manusia tersebut.
Egologia tersebut menempatkan totalitas pada pusat, yang setiap kali mencabut aspek-aspek lain dan berakhir dengan mengorbankan ‘yang tunggal’ pada sistem. Sejarah Eropa memberikan lukisan ketragisan mitos egologia, yaitu ego yang mandiri, yang mengutamakan hubungan dengan dunia dalam relisasi dirinya. Ketragisan egologia itu terwujud dalam darah dan penderitaan, dalam perang dank am konsentrasi.
Gagasan sentral kedua dari antropologi antarpersonal Lévinas adalah pengutamaan ‘yang lain’ yang dilukiskan dengan ‘epifani wajah’. Di sini terimplikasi dua hal fundamental: 1). Kepastian ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ membawa manusia kepada pengalaman metafisika dan religius; 2). Pengakuan ‘yang lain’ tidak hanya terjadi pada tingkat hubungan intim dan prive, tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif.
Yang lain mengungkapkan diri dan memanifestasikan diri (epifani). Kehadirannya sama sekali berbeda dari benda-benda objektif, yang kehilangan rahasianya manakala disinari dengan akal budi. Pengetahuan benda-benda adalah pengungkapan, yang tergantung pada inisiatif orang. Dengan pertanyaan yang kita ajukan benda-benda keluar dari persembunyiannya dan memberi pengetahuan pada kita. Berbeda sekali perjumpaan dengan manusia ‘yang lain’. ‘Yang lain’ bukanlah yang saya formulasikan dengan teori saya. ‘Yang lain’ menembus eksistensiku, menghadirkan dirinyak, menampak dengan sinarnya sendiri, menghadirkan diri dengan kepastian tak terbatah. Ia hadir sebagai benar-benar ‘yang lain’, yaitu sebagai pengada yang sama sekali tidak ditentukan oleh penalaran saya dan kerenanya juga tidak terselibkan dalam totalitas rasional. Tak bias tidak aku mengakui kehadirannya.
‘Epifani’ wajah adalah kehadiran langsung (dilambangkan dengan keterlanjangan wajah) dari ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’, yang menentang setiap bentuk totalitas.
Kepastian atau pengakuan akan ‘yang lain’ (pada taraf kognitif dan metafisik) tak pernah terpisahkan dari pengakuan konkrit yang lain dalam dunia, maka tak terpisahkan dari dimensi etika. Keterlanjangan wajah adalah juga kehadiran yang terpinggirkan, setiap manusia yang menghendaki menjadi ‘seseorang’ dihadapan yang lain, yang ingin diperlakukan sebagai ‘yang lain’. Pengakuan itu merupakan pengakuan objektif dalam keadilan dan kebaikan hati. Di sini letak perbedaan dengan G. Marcel dan Martin Buber yang terlalu membatasi diri pada tingkat pribadi.
Lévinas tidak hanya mengutamakan hubungan dengan yang lain, tetapi juga meletakkan superioritas Anda dalam hubungana dengan Aku. ‘Yang lain’ adalah dia yang melihat dari ‘yang lain’, yang menuntut dan memiliki hak untuk menuntut. Hubungan antarpersonal adalah secara fundamental asimetrik. Yakni memperlakukan ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ yang tidak sama dengan kiri saya.
Sebagaimana Buber dan Marcel, hubungan antarpersonal adalah tempat dimana ‘Yang Lain’, yaitu Allah, mewahyukan diri. Menemukan diri bertatap wajah dengan sesama, adalah juga menemukan diri dihadapan Yang Maha Tinggi. ‘Dimensi ilahi terbuka dengan berangkat dari wajah manusiawi’.
No comments:
Post a Comment