Get paid To Promote at any Location
Pertengahan Oktober 2009, saya coba mengikuti Paid-To-Promote.Net. Eh, ternyata tanggal 30 Oktober, sudah dibayar, walau hanya 0,93 dolar ke paypal saya. Program ini mempunya keteraturan membayar setiap tanggal 15 dan 30, berapapun nilai dolar yang kita dapat. Tak perlu nunggu 100 dolar seperti program lain. Bagaimana cara mengikutinya? Mudah saja, silakan register dengan referal saya. Jika Anda referal saya, maka Anda akan saya bimbing. Klik saja kata iklan tulisan "Get Paid to Promote at Any Location!"
berwarna pink di atas ini.

Ini contoh recehan dollarnya...

AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00

Hello Rakadewa,

chen zirong just sent you money with PayPal.

Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30

Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.

Saturday, February 21, 2009

Hegel: Konsep dan Relasi Person dan Kehendak Bebas


Ada aneka pandangan terhadap Hegel. Dalam tataran sejarah perkembangan filsafat terutama dalam perspektif metafisik person diartikan sebagai kesatuan substansial dari tubuh dan jiwa, sebagai dimensi psiko-fisik, sebagai dimensi ontologisnya. Dalam hal ini tubuh dilihat sebagai ekspresi derajad kemanusiaan, berhargam dan bernilai, tidak pernah menjadi atau direduksi ke dalam nilai pasar yang dapat diperjualbelikan. Asumsi yang demikian bertitik tolak dari pandangan bahwa person secara total dan esensial identik dengan tubuhnya. Akan tetapi ada anggapan bahwa tubuh itu juga merupakan materi, kuburan dan penjara bagi sesuatu yang tidak dapat mati. Tetapi dalam pandangan modern, tubuh adalah prinsip material dari individuasi dan dilihat dalam kerangka fungsi instrumentalnya. Manusia lantas tidak menjadi tubuh tetapi menjadi objek harta milik.

Pengertian Hegel terhadap person dan seluruh penjelasannya rupanya merupakan sontoh paham modern tetang pribadi itu sendiri. Ia misalnya mendefinisikan kepribadian sebagai kapasitas untuk membuat suatu abstraksi dari semua penentuan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemikiran sebagaimana adanya yang terjadi pada kehendak. Tubuh dalam hal ini dilihat sebagai kondisi eksternal. Selanjutnya person dapat dan harus memiliki tubuhnya sendiri. Oleh karena itu direduksikan ke dalam eksistensi fenomenal. Tubuh lalu menjadi milik person, adalah cermin dan instrument aktivitas kebebasannya. Person kemudian menjadi tuan bagi dirinya.

Pada level roh subjektif, adanya person didahului oleh jiwa, oleh kesadaran atau kesadaran diri, dan pada akhirnya adalah moment kehendak bebas. Pada tingkat roh objektif, relasi antara person dengan tubuhyna diletakkkan dalam dialektika kemajuan yang menunjukkan bagaimana person dalam aktivitasnya secara konstant dan perlu dibatasi pada bidang alamiah sebagaimana itu berbeda dari bentuk-bentuk hidup sosial dan politis. Dalam bidang hukum tubuh itu perlu secara “artifisial” dikaitkan dengan suatu tindakan partikular kehendak yang ditempatkan dalam konteks pengakuan hukum. Pada level ini, person tidak dapat mengabstrasikan dari level alamiah dan presuposisi fisik. Tubuh mesti diakui sebagai sesuatu yang konstitutif bagi kepribadian yang bebas. Konsep person merupakan tempat lahir bagi subjektivitas, kebebasan abstrak dan dilihat sebagai kapasitas tertinggi dari semua abstraksi semua isi bahkan dari apa yang adalah milik kita. Hegel lantas berpendapat bahwa idea kebebasan perlu direalisasi ke dalam dunia objektif. Dalam hal ini tubuh kemudian menjadi yang paling pertama dan segera merupakan alasan subjektif tentang dunia objektif. Pada sisi lain tubuh adalah mediasi dan merupakan unsur pembangun dari kondisi intersubjektif. Dengan demikian tubuh person dilihat sebagai “being-for-other” dari kepribadian. Hal ini mewakili aneka proposisi “pengakuan”.
Daram Philosophy of Right tubuh diletakkan dalam kaitannya dengan kepribadian. Meskipun secara logis person mengatasi tubuh, hal tersebut hanyalah suatu identifikasi antara person dan tubuh yang membenarkan dialektika dari roh objektif.

Pada tataran ini, tubuh diletakkan sejajar dengan person dan karena itu menjaminnya pada suatu tingkat status ontologis yang mengatasi semua hal alamiah. Yang alamiah sebagaimana penentuan-penentuan alamiah tubuh adalah apa yang meletakkan kemungkinan membatasi tindakan bebas person sebagai subjek “hukum” dan meletakkan dasar relasi intersubjektif antara person-person. Hasil gerakan logis ini adalah perwakilan dari tubuh sebagai objek kepemilikan atau menjadi person dan kemudia adalah subjek hukum itu sendiri. Berangkat dari sinilah, Hegel kemudian menjelaskan transisi dari kepemilikan kepada kontrak. Klaim bahwa person itu memiliki tubuh dalam harta milik mengantar seseorang kepada pengakuan bahwa tubuh adalah subjek hukum. Hal ini secara mutual berada dalam konteks kontrak. Sebab di dalam kontrak inilah masing-masing person saling menghargai.

Konsep filsafat hukum juga berkaitan dengan person. Problem dari filsafat hukum berhubungan dengan tema subjektifitas yang dapat berkembang dalam bentuk-bentuk berbeda dan figur-figur aktualitas roh. Di sini pengertian kehendak menjadi penting. Hegel, dalam uraian awalnya pada konsep roh subjektif menerangkan momen terakhir dari roh subjektif adalah kehendak bebas. Akan tetapi pada momen ini, kehendak tidak sungguh-sungguh bebas di dalam subjek yang terbatas karena kebebasa adalh aktualisasi diri dan perwujudan diri dari konsep dalam element eksistensi. Oleh karena itu, agar berada dalam kebebasan objetifnya, kehendak mesti mengambil bentuk sukesifnya. Moment pertama adalah person. Hegel menerangkan pula pemikirnanya untuk mengidetifikasi person itu. ada dua metode yang ditawarkannya. Pertama, karena filsafat pengetahuan tentang hukum memiliki idea tetang hukum sebagai objek, metode tersebut harus mengikuti perkembangan momen dari penentuan “konsep hukum” dan aktualisasinya. Kedua, penjelasan filsafat mesti menghadirkan figur konkret yang setiap waktu berkoresponden dengan moment-moment berbeda dari konsep yang adalah universalitas, partikularitas, dan individualitas. Hegel mengidentifikasi permulaan pengetahuan hukum dengan tugas pengembangan struktur-struktur kehendak menurut tiga moment konsep. Sekarang konsep kehendak adalah kebebasan. Kebebasan adalah substansi kehendak. Kehendak ditentukan oleh kebebasan utuk menemukan suatu Dasein dalam mana ia mewujudkan dirinya. Kehendak bebas ini merupakan bentuk pertama dari kebebasan yang mengaktualkan dirinya. Dalam konteks Abstract Right, kehendak bebas adalah moment pertama dari konsep-konsep momen individualitasnya. Dalam partikularitasnya, kehendak diperhitungkan ke depan dengan segera memberi dunia pertama dari kebebasan yang aktual di mana ia menyatakan tujuan dan maksud-maksudnya. Person merupakan idea yang secara total menentukan kondisi-kondisi empiris.

Langkah pertama untuk mengenal bahwa dalam bidang hukum kehendak bebas memiliki eksistensi dalam figus yuridis person. Langkah lainnga adalah dalam dan melalui diriyna sebagai milik dirinya. Relasi ini justru adalah dasar bagi konsep kepemilikan. Konsep person oleh Hegel merupakan perintah hukum (par 36) ini dikatakan Hegel dalam dua klausa yakni pertama jadilah pribadimu sendiri. Hal ini diarahkan kepada masing-masing individu yang bebas. Kedua adalah hormatilah yang lain sebagai person. Yang dimaksudkan Hegel untuk setiap pribadi sebagai person. Yang dimaksud oleh Hegel di sini adalah pentingnya relasi dengan person lain dengan cara “being-for-other” yakni melalui dirinya dan objek kepemilikan. Di sini Hegel mengutip konsep Kant tentang kategori imperatif dalam bidang hukum. Agar dapat dimengerti dua bidang perintah itu, person “harus” menyediakan bagi dirinya suatu “bagian eksternal” dari kebebasannya. Ini akan mendapat bentuknya dalam dasein. Karena inisial keabstrakkannya, dasein dikualifikasikan sebagai “eksternal” untuk kehendak bebas dan oleh karena itu, dapat dipisahkan dan berbeda darinya (par.41). “bidang kebebasan” yang adalah hasil eksteriorisasinya adalah penentuan “kepemilikan”. Person bagi Hegel adalah pemilik harta milik itu. Kepemiliknan, bagi Hegel, lantas merupakan suatu yang esensial bagi status yuridis dari person; bahwa seorang person tidak memiliki harta milik adalah suatu yang contradictio in adjecto. Eksterioritas itu tmapak dalam barang-barang atau hal-hal yang menjadi kekayaan person agar ia menjadi benar-benar bebas sebagai person. Eksistensi ini kemudian dapat menjadi “yang lain” yang tunggal. “Lain” di sini menjadi mungkin karena pemisahan dari dirinya. Dalam hal ini, Hegel memaksudkan suatu alienasi pribadi seseorang atau person terhadap harta miliknya.

[+/-] ReadMore...

Hegel: Kerangka utama sistem filsafatnya


Kerangka filsafat Hegel dikategorikan ke dalam tiga bagian berikut ini. Pertama yakni filsafat logika, kedua yakni filsafat alam dan filsafat roh. Ketiganya merupakan momen-momen dalam keseluruhan proses perjalanan roh/ide/kehendak menuju pada kepenuhan dan kesadarannya yang absolut. Untuk mencapai pada kesadaran diri yang sepenuhnya, roh tersebut niscaya perlu mengejawantahkan dirinya secara dialektis dalam berbagai realitas material. Tema filsafat politik merupakan momen dalam tahap perkembangan filsafat roh, tepatnya dalam tahap perkembangan roh objektif. Perkembangan roh objektif ini terjadi dalam tiga tahap pula yakni hukum abstrak, moralitas dan kesusilaan. Roh/ide/kehendak yang berkembang itu akan mencapai kepenuhannya dalam tahap kesusilaan, yang mana di dalam tahap ini, roh akan melalui tiga fase perkembangan yakni keluarga, masyarakat sipil dan negara. Dalam negara inilah rasionalitas dan kebebasan inidividu menjadi mungkin dan tercapai; dalam negara pula, kebebasan individu menyatu dengan totalitas kebebasan yang absolut.

Hal yang tidak terpisahkan dari penjelasan dan uraian Hegel tentang kepemilikan tidak terlepas dari konsepnya tentang kehendak bebas. Hampir seluruh filsafatnya bertitik tolak atau berdasarkan paham kebebasan ini. Dari sinilah ia merumuskan filsafatnya sebagai sejarah ynag berkembang ke arah kemerdekaan. Hal ini bagi Hegel tampak dalam tradisi Kristiani yang terjadi dalam komunitas jemaat perdana. Di dalam komunitas ini, paham subjektifitas itu sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi. Manusia, dalam konsep ini dipandang sebagai persona yang bebas. Paham manusia yang bebas ini pula berkembang dan kemudian diteruskan dalam kenyataan sosial. Kenyataan tersebut bagi Hegel ditemukan dan tampak dalam revolusi Perancis yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte.

[+/-] ReadMore...

Karl Marx: Agama Mengasingkan Diri Manusia

Marx sendiri meyakini bahwa masyarakat kapitalistik memang menawarkan terjadinya realisasi diri manusia, tetapi hal itu hanya terjadi bagi segelintir orang dan bukan bagi seluruh masyarakat. Marx kemudian menawarkan apa yang disebut dengan masyarakat komunis bahwa dalam masyarakat komunis setiap inidividu akan menikmati kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna; kendati hal itu berkait dengan hidup bersama, akan tetapi realisasi diri tetap dimungkinkan.

Dalam konteks alienasi, Marx membedakan setidaknya ada tiga hal yang harus disebut ketika orang berbicara tentang alienasi atau keterasingan yaitu alienasi sebagai tiadanya realisasi diri, sebagai tiadanya otonomi dan alienasi yang berkaitan dengan peran modal atas tenaga kerja. Namun di sini saya hanya akan mencoba memahami lebih dalam keterasingan yang diakui oleh Marx sebagai alienasi karena ketiadaan realsasi diri. Dikatakan oleh Marx bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal ini karena dalam agama manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri.

Menurut Marx agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya, pastilah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas dan ‘meninabobokan’ orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di mana dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga. Di sini Marx melihat bahwa hal itu hanya merupakan ciptaan masyarakat, khususnya disebut oleh Marx: masyarakat penguasa, untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya.

Tapi sebenarnya apa yang menjadi keprihatinan Marx? Jelas bahwa Marx melihat dalam tindakan agama semacam itu orang sangat tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak otonom. Manusia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Hal mana dapat dijelaskan seperti dalam proses produksi. Marx mengatakan bahwa dalam proses produksi setiap pekerja akan sangat dekat barang yang sedang dibuatnya, sehingga ia dengan leluasa dapat menyentuh dan memperlakukannya. Tetapi ketika barang itu berpindah tangan, sang pekerja itu tidak lagi berkuasa atas barang itu. Dalam agama, menurut Marx, ketika manusia masih hidup sebagai makhluk yang bebas –tanpa agama- ia dengan leluasa dapat membuat aturan-aturan, sanksi, ritus dan lain-lain; tetapi ketika ia masuk dan mulai meyakini suatu agama, manusia kemudian tunduk dengan aturan dan ritus yang dibuatnya sendiri. Pada saat itulah manusia terasing dari dirinya sendiri. Manusia melemparkan dirinya keluar dan tunduk atas ciptaannya sendiri, yang tidak lain adalah bayangan-bayangan indah dari makhluk yang menderita, yang merindukan otoritas yang melindunginya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya bahwa otoritas itu semakin membelenggu dan menambah penderitaannya.
Di samping itu juga, Marx melihat bahwa agama memberikan pembebasan dari penindasan yakni dengan sikap pasrah. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai sifat fetisisme dengan merujuk pada benda-benda material yang memiliki kekuatan supranatural. Marx mengatakan bahwa fetisisme agama itu muncul ketika ilusi-ilusi dalam kehidupan diangkat menjadi doktrin yang mau tidak mau harus ditaati oleh setiap individu. Fetisisme ini akan melahirkan apa yang disebut oleh Marx sebagai ‘harapan semu orang tertindas.’ Fetisisme agama membuat masyarakat tidak mampu bergerak dengan leluasa untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman kemiskinan. Ini yang semakin memantapkan keyakinan Marx yang menyebut agama tidak lain sebagai candu masyarakat.

[+/-] ReadMore...

Karl Marx: Agama sebagai Candu Masyarakat


Bagi Marx, agama merupakan medium dari ilusi sosial. Dalam agama tidak ada pendasaran yang real-objektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan supranatural. Ia justru melihat bahwa agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati namun karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda inilah yang disebutnya sebagai candu bagi masyarakat. Berkaitan dengan hal ini Marx mengkritik agama Kristen yang telah mempropagandakan etika ketertundukan. Dalam etika ketertundukan itu manusia hanya bisa tunduk terhadap segala aturan yang dilegitimasi sebagai aturan dari Allah. Manusia pasif dan menerima penderitaan sebagai karunia, sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan kekal. Ini mengindikasikan bahwa manusia akhirnya hanya bisa menerima penderitaannya tak berbuat apa-apa. Justru sikap tunduk inilah yang menguntungkan kaum kapitalis yang nota bene menguasai roda perekonomian. Dalam konteks ini Marx melihat bahwa agama adalah ekspresi langsung dari kelas yang berkepentingan, kelas yang dominan secara ekonomi bahkan politik yaitu kelas kapitalis.

Untuk itulah, Marx mengusulkan lahirnya masyarakat komunis. Dalam masyarakat komunis ini tidak ada lagi bentuk-bentuk penindasan kelas satu terhadap yang lain. Untuk mencapai cita-cita masyarakat komunis itu –yang dipandang olehnya sebagai suatu penghapusan stratifikasi sosial dalam masyarakat- agama harus sepi. Artinya agama harus dipinggirkan dan tidak mendominasi kehidupan masyarakat.

Kritik agama yang dilancarkan oleh Marx di atas sebenarnya merupakan langkah awal atau sebagai ‘pintu gerbang’ untuk memasuki wilayah kritik masyarakat. Bagi Marx, kritik agama tidak akan mengubah keadaan manusia yang menderita. Yang dibutuhkan adalah kritik masyarakat, agar agama tidak lahir. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik

[+/-] ReadMore...

Karl Marx: Agama Sebagai Instrumen Penindasan


Karl Marx menjelaskan bahwa tidak ada alasan lain bagi siapa pun bahwa orang harus menganut agama karena penderitaan dan penindasan. Keyakinan Marx ini, berangkat dari kritik agama Feurbach yaitu bahwa agama adalah institusi alienatif. Berangkat dari hal ini, Marx yakin bahwa orang menganut agama karena orang tersebut mengalami penderitaan dan penindasan dalam hidupnya. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatif-ekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakan-tindakan penindasan kepada mereka. Hal ini paling nyata dilakukan oleh para kapitalis. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka.
Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri.
Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar dapat tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya –kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Marx menanggapinya demikian bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait denga dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas, sehingga baginya agama tidak lain adalah candu masyarakat.

[+/-] ReadMore...

RASIONALISME: Sebuah Epistemologi Pengetahuan di Barat


Ada dua sumber primer pengetahuan yang secara alamiah telah diperoleh manusia, yaitu akal dan pengalaman. Seluruh pengetahuan, tak terkecuali falsafah, senantiasa berkutat dalam dua sumber ini. Ada yang sangat mementingkan pengalaman, dan ada yang sebaliknya mementingkan akal. Bila kalangan yang mementingkan pengalaman dinilai sebagai empirisme, maka kalangan yang mementingkan akal itulah yang disebut rasionalisme. Meskipun tak jarang filosof berupaya mengompromikan dua sumber dan implikasinya itu, misalnya Immanuel Kant, namun pertentangan rasionalisme dan empirisme kiranya belum juga kunjung henti.

Rasionalisme, laiknya firqah-firqah lain dalam falsafah, ia dibangun tidak hanya oleh seorang filosof, dan tidak hanya dalam sebuah tempat atau kawasan. Rasionalisme dibangun oleh banyak filosof, di mana dari upaya-upaya berfalsafah mereka dapat disimpulkan sebuah kecenderungan (type) dasar berfalsafah yang disebut rasionalisme; rasionalisme dibangun di banyak kawasan dunia, di mana dari macam-macam pengaruh atau pertimbangan-pertimbangan kawasan itu, tetap dapat ditarik sebuah kecenderungan umum bernama rasionalisme.

Meskipun rasionalisme baru menemukan bentuk sistematisnya pada masa modern, namun sebenarnya varian-varian rasionalisme telah ada sejak masa klasik falsafah itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini Prof. Dr. Ahmad Tafsir misalnya, menengarahi bahwa rasionalisme telah ada sejak zaman Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, bahkan kalangan Sofis. Dia mengemukakan bahwa mereka, para filosof klasik, telah menerapkan rasionalisme dalam falsafah mereka.

Adalah Rene Descartes (1596-1650), selain disebut sebagai bapak filsafat modern, ia adalah bapak rasionalisme kontinental.Ide terkenalnya bahwa cogito ergo sum (Prancis: Je Pense, Donc Je Suis), telah menjadi tonggak awal bagi babak baru falsafah, yaitu era modern. Lewat ide itu pula ia ingin menegaskan bahwa hanya akal atau rasio yang dapat menjadi dasar falsafah, satunya-satunya dasar yang dapat dipercaya, dan bukan iman atau wahyu sebagaimana dipegangi oleh abad pertengahan.

Di samping Descartes, ada Baruch Spinoza atau Benedictus de Spinoza (1632-1677), dan Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716). Nama-nama ini sebenarnya hanyalah nama-nama besar yang secara konsisten berusaha berfalsafah dengan kecenderungan rasionalisme. Artinya, tidak menutup kemungkinan akan ada banyak nama lain selain mereka yang juga berfalsafah dengan kecenderungan rasionalisme.

PENEGASAN ISTILAH

Sebuah ungkapan sederhana namun cukup representatif akan arti istilah rasionalisme ialah apa yang telah diungkapkan oleh F. Budi Hardiman, bahwa konsep rasionalisme mengacu pada sebuah aliran falsafah yang berpandangan bahwa pengetahuan (episteme) tidak didasarkan pada pengalaman empiris, melainkan pada asas-asas a-priori yang ada dalam rasio. Rasionalisme menghadirkan aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik tolak, sebelum akhirnya menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Sepaham dengan ini, ialah apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, bahwa “rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.”

Sementara itu epistemologi, ia merupakan sebuah sub falsafah yang secara khusus berusaha menggeluti pertanyaan-pertanyaan menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. Dengan sifatnya yang evaluatif, normatif dan kritis, epistemologi berusaha mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan, serta mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari pengetahuan. Lantaran kapasitasnya itu, epistemologi merupakan upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia.

Dengan demikian, rasionalisme sebagai sebuah epistemologi atau metode memperoleh pengetahuan, merupakan sebuah aliran falsafah yang ingin mengkaji seluk beluk pengetahuan, dengan menitikberatkan akal sebagai basis dan sumber pengetahuan itu sendiri.

IDE RASIONALISME


Dalam pandangan rasionalisme, sumber dan dasar pengetahuan adalah akal (reason). Kalangan rasionalis menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan pemikiran (akal aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satu-satunya instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan.

Bagi filosof rasionalis, pengetahuan yang dapat memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah, adalah hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal. Dalam pandangan kaum rasionalis, akal dipahamai sebagai sejenis perantara khusus, di mana dengan akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Karena itu, kunci pengetahuan dan keabsahannya, bagi rasionalisme, adalah akal.

Dalam prosedur praksisnya, kalangan rasionalisme memulai dengan menghadirkan aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik tolak, sebelum akhirnya menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Aksioma-aksioma yang dipakai dasar pengetahuan itu, diturunkan dari ide yang dipandang sudah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.

Sebuah contoh sederhana yang sering digunakan kalangan rasionalis untuk mendeskripsikan sistem rasionalisme ialah, aksioma geometri. Bagi para rasionalis, aksioma geometri adalah ide yang jelas lagi tegas, yang dari aksioma itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma.

Misalnya sebuah aksioma geometri yang menyatakan bahwa, “garis lurus merupakan jarak terdekat antara dua titik.” Aksioma ini merupakan prinsip yang sudah ada dalam pikiran, yang dengan prinsip itu semua keadaan serupa dapat dijelaskan (baca: dideduksikan).

Secara khusus Rene Descartes mengetengahkan bahwa agar falsafah, termasuk epistemologi, dapat meraih kepastian absolut dan diakui benar secara universal, sehingga bisa mencapai kebenaran akhir yang pasti, maka falsafah harus menggunakan metode matematika sebagai idealismenya. Karena bagi Descartes, hanya matematikalah satu-satunya disiplin yang dapat menghasilkan pemikiran yang terbukti dan pasti. Artinya, bila falsafah ingin menemukan hasil atau pemikiran yang pasti, maka harus menjadikan metode matematika sebagai idealismenya.

Menurut Descartes, matematika mungkin melakukan itu lantaran ia mempunyai dua pengoperasian mental. Di mana dengan dua hal itulah, pengetahuan yang sesungguhnya akan bisa diraih.

Pertama, intuisi. Intuisi merupakan pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya persamaan aritmatika bahwa, 2 + 5 = 7. Pembuktian akan kebenaran persamaan ini adalah menggunakan pemikiran atau akal, dirasiokan. Dalam hal ini, matematika mempunyai prinsip-prinsip yang kebenarannya telah diakui dalam akal, yang dipahami bahwa itu benar.

Kedua, deduksi. Deduksi yang dimaksud di sini ialah pemikiran atau kesimpulan logis yang diturunkan dari prinsip bukti diri. Persamaan aritmatika di atas misalnya, dengan persamaan itu kita bisa mendeduksikan, yakni menurunkan kesimpulan-kesimpulan lain yang serupa.

Jadi, intuisi dan deduksi itulah yang ada dalam metode matematika. Ketika sebuah metode pengetahuan (baca: epistemologi) mampu beroperasi seperti metode matematika itu, maka, bagi kalangan rasionalis, pasti akan menghasilkan pengetahuan yang tidak bisa diragukan lagi, pengetahuan yang tetap dan pasti, absolut dan universal.

Bagiamana rasionalis memandang pengalaman? Peneguhan kalangan rasionalis bahwa hanya akal yang menjadi basis dan sumber pengetahuan, bukanlah berarti bahwa kalangan ini menafikan pengalaman secara total-sepenuhnya. Artinya, rasionalisme masih tetap memandang pengalaman sebagai sebuah kualitas yang bernilai, meskipun kadar nilai itu tentunya tidak setinggi akal atau rasio. Bagi kalangan rasionalis, pengalaman dapat menjadi pelengkap bagi akal.

Berkenaan dengan pengalaman tersebut ini, kalangan rasionalis biasanya membedakan antara pendapat dan pengetahuan. Bila pendapat adalah merujuk pada pengalaman, maka pengetahuan adalah yang merujuk pada akal atau pemikiran. Perkataan seseorang bahwa ia telah melihat Monas misalnya, itu adalah sekedar pendapat, dan bukan pengetahuan, sebab sangat dimungkinkan bahwa mata yang digunakan orang itu adalah menipu, artinya masih diragukan. Sementara bila seseorang berkata bahwa 2 + 5 = 7, maka inilah pengetahuan, lantaran perkataan orang terakhir ini merupakan prinsip yang tidak diragukan lagi, aksioma atau prinsip a-priori.

Akhir

Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber pengetahuan, atau secara umum falsafah, adalah akal atau rasio. Adalah akal, yang bisa dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh pengetahuan yang tetap dan pasti, serta absolut dan universal.

Sebagai sebuah epistemologi, rasionalisme menggunakan aksioma-aksioma, pengertian-pengertian atau prinsip-prinsip umum rasional yang bersifat a-priori, sebagai basis pengetahuan sekaligus sebagai sumber. Apa yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip dimaksud ini, dan segala hal yang dapat dideduksikan dari prinsip-prinsip tersebut, itulah pengetahuan bagi kalangan rasionalisme. Sesuatu yang tidak dideduksikan dari prinsip-prinsip a-priori, atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, itu bukanlah pengetahuan, ia hanyalah sekedar opini.

Sebagai sebuah epistemologi yang keberpihakannya hanya terhadap akal atau rasio, rasionalisme pada akhirnya memang banyak menuai kritik. Tak lama sepeninggal Rene Descartes sang bapak kontinental rasionalisme, David Hume (1711-1776) misalnya, telah mengkritik bahwa akal hanyalah sekedar budak daripada nafsu, yang tidak bisa tidak mengabdi kepada nafsu, pastinya selalu mengabdi.

Namun demikian, problem dan kritik atas rasionalisme tersebut, tentunya bukan berarti bahwa rasionalisme tidak mempunyai arti atau manfaat sama sekali. Sebaliknya, sebagai sebuah aliran falsafah sekaligus sebuah epistemologi, kiranya rasionalisme telah berjasa banyak bagi sejarah falsafah. Melalui bapak kontinentalnya, rasionalisme telah menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah babak modern, yang pada gilirannya telah berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafah lainnya, termasuk aliran yang menentangnya.

Dalam hal polemis tersebut ini, penulis pribadi cenderung sepakat dengan GWF. Hegel bahwa segala sesuatunya merupakan bagian dari proses menjadi sadarnya “Aku Absolut”, tidak terkecuali rasionalisme.

[+/-] ReadMore...

Need us. Just contact in: themodernphilosophy@gmail.com
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.

(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)