Get paid To Promote at any Location
Pertengahan Oktober 2009, saya coba mengikuti Paid-To-Promote.Net. Eh, ternyata tanggal 30 Oktober, sudah dibayar, walau hanya 0,93 dolar ke paypal saya. Program ini mempunya keteraturan membayar setiap tanggal 15 dan 30, berapapun nilai dolar yang kita dapat. Tak perlu nunggu 100 dolar seperti program lain. Bagaimana cara mengikutinya? Mudah saja, silakan register dengan referal saya. Jika Anda referal saya, maka Anda akan saya bimbing. Klik saja kata iklan tulisan "Get Paid to Promote at Any Location!"
berwarna pink di atas ini.

Ini contoh recehan dollarnya...

AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00

Hello Rakadewa,

chen zirong just sent you money with PayPal.

Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30

Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.

Thursday, December 17, 2009

Keadilan Sebagai Pengada Mutlak bagi Eksistensi Negara Sebuah Gugatan Aurelius Augustinus (354 – 430 M) terhadap Eksistensi Negara (3)

Tanggapan Kritis

A. Kritik bagi Augustinus
1. Dalam menguraikan pandangan filosofisnya Augustinus lebih cenderung berperan sebagai seorang teolog Katolik. Ia lebih bergulat dengan kebenaran-kebenaran Kitab Suci dan Wahyu-Wahyu Allah dari pada bergulat dengan realitas-relitas sosio-politis.
2. Bagi Augustinus keadilan adalah relasi kasih antara manusia dan juga dengan Tuhan, dan tanpa keadilan ini tidak ada negara. Namun ternyata definisi ini tidak seketat yang dibayangkan, terdapat suatu inkonsistensi dalam pemikirannya. Sebab Augustinus di satu pihak menekankan relasi yang penuh kasih, namun dipihak lain ia melegalkan kekerasan oleh negara dengan alasan apapun jua, ia juga menerima adanya hukuman mati, bahkan baginya perdamaian dan keadilan dalam negara dunia tentunya, hanya bisa terwujud melalui peperangan dan kekerasan. Ini berarti adanya negara (dunia) hhadir karena kondisi keberdosaan manusia. Penulis merasakan bahwa definisi keadilan bagi Negara Allah ternyata berbeda dengan definisi keadilan bagi Negara Dunia.
3. Bagi Augustinus suatu negara disebut negara jika ia teokrasi, pandangan ini dari sudut pandang pluralis adalah tidak adil, bagaimana dengan mereka yang atheis.
4. Pandangan Augustinus ini dapat digunakan untuk melegalkan kekerasan dan anarkisme. Augustinus berpendapat bahwa perdamaian dan keadilan hanya bisa dicapai melalui peperangan dan kekerasan.

B. Konteks Kekinian
1. Negara-negara seperti Indonesia, Jerman, Amerika Serikat, Arab Saudi, Mesir dan sebagainya; bagi Augustinus termasuk negara dunia. Negara-negara itu semu, tidak abadi, dan karena itu segala kebaikan dan keadilan yang ada padanya juga semu dan tidak sejati.
2. Dengan menjelaskan dan menguraikan secara filosofis-teologis bahwa suatu negara hanya dapat berdiri jika keadilan, maka Augustinus telah memberikan suatu penegasan dan daya dorong bagi para aktivis dan pejuang HAM untuk terus-menerus menyuarakan penegakan keadilan bagi negara yang masih melecehkannya.
3. Keadilan Augustinus adalah keadilan universal dan abadi. Keadilannya tidak hanya terbatas diperuntukan bagi orang-orang kristiani, melainkan bagi semua orang di mana pun ia berada.


[+/-] ReadMore...

Keadilan Sebagai Pengada Mutlak bagi Eksistensi Negara Sebuah Gugatan Aurelius Augustinus (354 – 430 M) terhadap Eksistensi Negara (2)

Ada Negara Niscaya Ada Keadilan – Tanpa Keadilan Niscaya Tidak Ada Negara

A. Konsep Dasar Augustinus tentang Keadilan

1. Cicero:
Menurut Cicero, dalam bukunya De Republica, negara merupakan hal rakyat yang dipahaminya sebagai sebuah komunitas manusia-manusia yang terikat satu sama lain melalui kesamaan hukum. Nah, kesamaan di hadapan hukum itulah yang disebutnya sebagai Keadilan. Tanpa keadilan sebuah negara tak bisa dipimpin. Karena di mana tidak ada keadilan sejati, juga tidak akan ada hukum. Dengan demikian juga, menurut definisi Cicero, juga tidak dapat ada sebuah rakyat. Maka terbuktilah bahwa di mana tidak ada keadilan, di situ juga tak ada negara.
2. Plato:
Bagi Plato suatu negara (macro-anthropos) hadir karena adanya kerjasama yang harmonis antara manusia-manusia individu, dalam memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Para manusia itu terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas emas, kelas perak, dan kelas besi. Suatu negara akan berdiri jika terdapat relasi yang harmonis antar 3 kelas ini. Bagi Plato keadilan itu adalah jika setiap manusia menjalankan fungsinya masing-masing berdasarkan kelasnya, jika fungsi itu dijalankan secara tepat dan harmonis maka terbentuklah suatu negara.
3. Augustinus:
Konsep Augustinus perihal terbentuknya negara tidak terlepas dari pengaruh kedua tokoh di atas. Pemahamannya sama yaitu bahwa keadilanlah yang menjadi faktor utama dari ada tidaknya suatu negara. Namun ketiganya memiliki perbedaan dalam mendefinisikan apa itu keadilan. Berbeda dengan Cicero, keadilan menurut Augustinus hampir mirip dengan keadilan menurut Plato, namun Augustinus menolak adanya pembagian kategori kelas seperti yang dilakukan oleh Plato. Bagi Augustinus keadilan memang suatu relasi yang harmonis antarmanusia baik secara kolektif maupun personal, namun relasi itu haruslah dipenuhi dengan kasih dan relasi itu bukan hanya meliputi antarmanusia melainkan segenap ciptaan dan Sang Pencipta itu sendiri. Inilah yang khas dari definisi keadilan Augustinus.

B. Keadilan Syarat Mutlak Adanya Negara
Keadilan adalah satu-satunya ikatan yang mempersatukan manusia sebagai ‘populas’ sejati. Tanpa keadilan, negara tidak lebih dari kumpulan para bandit. Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan yang holistik, artinya tidak ada keadilan kolektif jika tidak ada keadilan personal.
Kebenaran yang sesungguhnya pasti dialirkan dari mata air keadilan. Kebenaran pada hakikatnya serasi dengan keadilan, dan selalu mengandaikan satu dengan yang lainnya. Cinta kasihlah yang menjadi basis utama adanya keadilan dan kebenaran. Itu berarti Allahlah yang menjadi sumber satu-satunya kebenaran dan keadilan sebab Ia adalah Kasih itu sendiri.
Keadilan merupakan syarat mutlak bagi keberadaan negara, sebab negara merupakan relasi yang harmonis antarmanusia, baik secara pribadi maupun secara kolektif dengan Allah yang adalah Kasih itu sendiri. Dengan demikian tanpa keadilan sebagaimana yang dipahami oleh Augustinus, tiadalah apa yang disebut sebagai negara itu.



[+/-] ReadMore...

Keadilan Sebagai Pengada Mutlak bagi Eksistensi Negara Sebuah Gugatan Aurelius Augustinus (354 – 430 M) terhadap Eksistensi Negara (1)

Letak Konsep Keadilan Dalam Pemikiran Umum Augustinus

A. Latar Belakang
Tema yang diangkat oleh penulis merupakan salah satu tema yang diuraikan oleh Augustinus dalam salah satu karyanya yang termasyur, yaitu buku “De Civitate Dei”. Karya Augustinus ini, yang dikerjakan pada 413-427 M. Terdiri dari 22 buku. Berisikan pembelaan terhadap ajaran Kristen yang sedang diserang oleh orang-orang kafir pada saat itu. Hal ini dilatarbelakngi dua peristiwa yang mengguncang imperium Romawi :
- Agama Kristen diresmikan menjadi agama negara oleh Kaisar Theodosius (393M), dan akhirnya,
- Kejatuhan Roma ke tangan Bangsa Visigoth, Raja Alarik (410M)
Kejatuhan Roma menimbulkan tuduhan negatif rakyat dan sebagian penguasa imperium terhadap agama Kristen. Kekristenanlah yang menyebabkan kekaisaran Romawi kehilangan kejayaan dan kewibawaannya. Dipercaya bahwa dewa-dewa Romawi marah dan mengutuk bangsa romawi, karena merasa dihianati dengan diterima agama Kristen menjadi agama resmi. Untuk itu maka agama Kristen perlu dienyahkan agar kutukan tersebut lenyap.
B. De Civitate Dei: Dua Kota yang bertolakbelakang, namun ada bersama

1. Civitas Dei (Negara Tuhan): Segalanya yang baik:
• Ditandai oleh iman, ketaatan dan kasih Allah
• Menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas terpuji, seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, keindahan, kesetiaan, dll

2. Civitas Terrena (Negara Dunia): Penuh keburukan, namun ada juga kebaikan walaupun semu
• Ditandai oleh dosa, keangkuhan dan cinta yang egois
• Manifestasi dari kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, kemaksiatan, keburukan, kejahatan, dll
• Bertujuan semata-mata demi kebahagiaan fisik, menumpuk harta kekayaan dan pengumbaran nafsu hewani, gila hormat dan kekuasaan yang menimbulkan pertikaian dan malapetaka

C. Tentang Prinsip dan Nilai Hidup bukan tentang Lembaga atau Organisasi

Saya pribadi melihat bahwa sebenarnya Augustinus tidak bermaksud mempersoalkan masalah-masalah praktis organisasi negara/gereja melainkan ia memakai organisasi negara/gereja untuk mengarahkan individu kepada cara hidup (ways of life) dan prinsip-prinsip hidup (principles of life) yang benar yang terarah kepada Allah. (menggunakan metode Plato, melihat manusia sebagai micro-nation). oleh karena itu gagasan tentang negara tidak teracu pada bentuk organisasi tertentu, melainkan yang terutama agar orang-orang mengenal dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang terdapat pada negara Allah dan menolak prinsip negara duniawi.
Untuk menuju negara Tuhan maka diperlukan individu yang mampu mengarahkan cara hidup dan prinsip hidupnya kepada Tuhan dan menolak cara hidup dari negara sekuler. Melalui individu-individu (baik kaisar maupun penduduk biasa) yang terarah kepada Tuhan maka kelompok masyarakat–negara Tuhan akan sedikit tersinggung/tercapai di dunia ini, dan terpenuhi dalam kesempurnaannya di akhir dunia
Individu yang terarah kepada Tuhan tersebut dapat terealisasi dalam semacam negara persemakmuran kristiani dengan Kristus sebagai kepala (Konsep Allah yang meraja) yang menekankan hukum Kasih kepada Allah dan membawa kebaikan/keadilan kepada sesama.
Maka dapat dikatakan bahwa Negara ideal menurut Augustinus adalah negara Teokrasi (Allah yang meraja) dan baru akan terpenuhi pada saat akhir zaman. Negara yang ada sekarang ini bukanlah negara Tuhan walaupun telah memiliki kedamaian karena tetap bersifat sementara/fana

[+/-] ReadMore...

Modern Philosophy | Konsep dan Relasi antara Kebebasan, Person dan Kepemilikan Menurut Hegel (2)

Konsep dan Relasi Person dan Kehendak Bebas
Ada aneka pandangan terhadap person ini. Dalam tataran sejarah perkembangan filsafat terutama dalam perspektif metafisik person diartikan sebagai kesatuan substansial dari tubuh dan jiwa, sebagai dimensi psiko-fisik, sebagai dimensi ontologisnya. Dalam hal ini tubuh dilihat sebagai ekspresi derajad kemanusiaan, berhargam dan bernilai, tidak pernah menjadi atau direduksi ke dalam nilai pasar yang dapat diperjualbelikan. Asumsi yang demikian bertitik tolak dari pandangan bahwa person secara total dan esensial identik dengan tubuhnya. Akan tetapi ada anggapan bahwa tubuh itu juga merupakan materi, kuburan dan penjara bagi sesuatu yang tidak dapat mati. Tetapi dalam pandangan modern, tubuh adalah prinsip material dari individuasi dan dilihat dalam kerangka fungsi instrumentalnya. Manusia lantas tidak menjadi tubuh tetapi menjadi objek harta milik.
Pengertian Hegel terhadap person dan seluruh penjelasannya rupanya merupakan sontoh paham modern tetang pribadi itu sendiri. Ia misalnya mendefinisikan kepribadian sebagai kapasitas untuk membuat suatu abstraksi dari semua penentuan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemikiran sebagaimana adanya yang terjadi pada kehendak. Tubuh dalam hal ini dilihat sebagai kondisi eksternal. Selanjutnya person dapat dan harus memiliki tubuhnya sendiri. Oleh karena itu direduksikan ke dalam eksistensi fenomenal. Tubuh lalu menjadi milik person, adalah cermin dan instrument aktivitas kebebasannya. Person kemudian menjadi tuan bagi dirinya.

Pada level roh subjektif, adanya person didahului oleh jiwa, oleh kesadaran atau kesadaran diri, dan pada akhirnya adalah moment kehendak bebas. Pada tingkat roh objektif, relasi antara person dengan tubuhyna diletakkkan dalam dialektika kemajuan yang menunjukkan bagaimana person dalam aktivitasnya secara konstant dan perlu dibatasi pada bidang alamiah sebagaimana itu berbeda dari bentuk-bentuk hidup sosial dan politis. Dalam bidang hukum tubuh itu perlu secara “artifisial” dikaitkan dengan suatu tindakan partikular kehendak yang ditempatkan dalam konteks pengakuan hukum. Pada level ini, person tidak dapat mengabstrasikan dari level alamiah dan presuposisi fisik. Tubuh mesti diakui sebagai sesuatu yang konstitutif bagi kepribadian yang bebas. Konsep person merupakan tempat lahir bagi subjektivitas, kebebasan abstrak dan dilihat sebagai kapasitas tertinggi dari semua abstraksi semua isi bahkan dari apa yang adalah milik kita. Hegel lantas berpendapat bahwa idea kebebasan perlu direalisasi ke dalam dunia objektif. Dalam hal ini tubuh kemudian menjadi yang paling pertama dan segera merupakan alasan subjektif tentang dunia objektif. Pada sisi lain tubuh adalah mediasi dan merupakan unsur pembangun dari kondisi intersubjektif. Dengan demikian tubuh person dilihat sebagai “being-for-other” dari kepribadian. Hal ini mewakili aneka proposisi “pengakuan”.
Daram Philosophy of Right tubuh diletakkan dalam kaitannya dengan kepribadian. Meskipun secara logis person mengatasi tubuh, hal tersebut hanyalah suatu identifikasi antara person dan tubuh yang membenarkan dialektika dari roh objektif. Pada tataran ini, tubuh diletakkan sejajar dengan person dan karena itu menjaminnya pada suatu tingkat status ontologis yang mengatasi semua hal alamiah. Yang alamiah sebagaimana penentuan-penentuan alamiah tubuh adalah apa yang meletakkan kemungkinan membatasi tindakan bebas person sebagai subjek “hukum” dan meletakkan dasar relasi intersubjektif antara person-person. Hasil gerakan logis ini adalah perwakilan dari tubuh sebagai objek kepemilikan atau menjadi person dan kemudia adalah subjek hukum itu sendiri. Berangkat dari sinilah, Hegel kemudian menjelaskan transisi dari kepemilikan kepada kontrak. Klaim bahwa person itu memiliki tubuh dalam harta milik mengantar seseorang kepada pengakuan bahwa tubuh adalah subjek hukum. Hal ini secara mutual berada dalam konteks kontrak. Sebab di dalam kontrak inilah masing-masing person saling menghargai.
Konsep filsafat hukum juga berkaitan dengan person. Problem dari filsafat hukum berhubungan dengan tema subjektifitas yang dapat berkembang dalam bentuk-bentuk berbeda dan figur-figur aktualitas roh. Di sini pengertian kehendak menjadi penting. Hegel, dalam uraian awalnya pada konsep roh subjektif menerangkan momen terakhir dari roh subjektif adalah kehendak bebas. Akan tetapi pada momen ini, kehendak tidak sungguh-sungguh bebas di dalam subjek yang terbatas karena kebebasa adalh aktualisasi diri dan perwujudan diri dari konsep dalam element eksistensi. Oleh karena itu, agar berada dalam kebebasan objetifnya, kehendak mesti mengambil bentuk sukesifnya. Moment pertama adalah person. Hegel menerangkan pula pemikirnanya untuk mengidetifikasi person itu. ada dua metode yang ditawarkannya. Pertama, karena filsafat pengetahuan tentang hukum memiliki idea tetang hukum sebagai objek, metode tersebut harus mengikuti perkembangan momen dari penentuan “konsep hukum” dan aktualisasinya. Kedua, penjelasan filsafat mesti menghadirkan figur konkret yang setiap waktu berkoresponden dengan moment-moment berbeda dari konsep yang adalah universalitas, partikularitas, dan individualitas. Hegel mengidentifikasi permulaan pengetahuan hukum dengan tugas pengembangan struktur-struktur kehendak menurut tiga moment konsep. Sekarang konsep kehendak adalah kebebasan. Kebebasan adalah substansi kehendak. Kehendak ditentukan oleh kebebasan utuk menemukan suatu Dasein dalam mana ia mewujudkan dirinya. Kehendak bebas ini merupakan bentuk pertama dari kebebasan yang mengaktualkan dirinya. Dalam konteks Abstract Right, kehendak bebas adalah moment pertama dari konsep-konsep momen individualitasnya. Dalam partikularitasnya, kehendak diperhitungkan ke depan dengan segera memberi dunia pertama dari kebebasan yang aktual di mana ia menyatakan tujuan dan maksud-maksudnya. Person merupakan idea yang secara total menentukan kondisi-kondisi empiris.
Langkah pertama untuk mengenal bahwa dalam bidang hukum kehendak bebas memiliki eksistensi dalam figus yuridis person. Langkah lainnga adalah dalam dan melalui diriyna sebagai milik dirinya. Relasi ini justru adalah dasar bagi konsep kepemilikan. Konsep person oleh Hegel merupakan perintah hukum (par 36) ini dikatakan Hegel dalam dua klausa yakni pertama jadilah pribadimu sendiri. Hal ini diarahkan kepada masing-masing individu yang bebas. Kedua adalah hormatilah yang lain sebagai person. Yang dimaksudkan Hegel untuk setiap pribadi sebagai person. Yang dimaksud oleh Hegel di sini adalah pentingnya relasi dengan person lain dengan cara “being-for-other” yakni melalui dirinya dan objek kepemilikan. Di sini Hegel mengutip konsep Kant tentang kategori imperatif dalam bidang hukum. Agar dapat dimengerti dua bidang perintah itu, person “harus” menyediakan bagi dirinya suatu “bagian eksternal” dari kebebasannya. Ini akan mendapat bentuknya dalam dasein. Karena inisial keabstrakkannya, dasein dikualifikasikan sebagai “eksternal” untuk kehendak bebas dan oleh karena itu, dapat dipisahkan dan berbeda darinya (par.41). “bidang kebebasan” yang adalah hasil eksteriorisasinya adalah penentuan “kepemilikan”. Person bagi Hegel adalah pemilik harta mulik itu. Kepemiliknan, bagi Hegel, lantas merupakan suatu yang esensial bagi status yuridis dari person; bahwa seorang person tidak memiliki harta milik adalah suatu yang contradictio in adjecto. Eksterioritas itu tmapak dalam barang-barang atau hal-hal yang menjadi kekayaan person agar ia menjadi benar-benar bebas sebagai person. Eksistensi ini kemudian dapat menjadi “yang lain” yang tunggal. “Lain” di sini menjadi mungkin karena pemisahan dari dirinya. Dalam hal ini, Hegel memaksudkan suatu alienasi pribadi seseorang atau person terhadap harta miliknya.


[+/-] ReadMore...

Modern Philosophy | Konsep dan Relasi antara Kebebasan, Person dan Kepemilikan Menurut Hegel (1)

Pemikiran Hegel yang tertuang dalam karyanya Philosophy of Right merupakan pintu masuk ke dalam pemikirannya tentang filsafat politik. Di dalamnya Hegel membahas tema-tema pemikiran politiknya yang meliputi permasalahan tentang hukum, moralitas dan kesusilaan. Di dalam tema kesusilaan, ia membahas pula dialektika yang terjadi di dlaam keluarga, masyarakat dan negara. Berkaitan dengan ini, salah satu yang menjadi pokok pembicaraannya dalam hukum abstrak adalah konsepnya tentang hak milik atau kepemilikan. Bagaimana kepemilikan itu berkaitan dengan kehendak, kebebasan dan hukum yang merupakan persoalan yang tidak bisa lepas dari pemikirannya. Justifikasi kepemilikan ini ternyata juga berhubungan dengan konsep tentang person dan kepribadian. Tulisan berikut ini akan memaparkan justifikasi Hegel terhadap kepemilikan itu.
Kerangka utama sistem filsafat Hegel
Kerangka filsafat Hegel dikategorikan ke
dalam tiga bagian berikut ini. Pertama yakni filsafat logika, kedua yakni filsafat alam dan filsafat roh. Ketiganya merupakan momen-momen dalam keseluruhan proses perjalanan roh/ide/kehendak menuju pada kepenuhan dan kesadarannya yang absolut. Untuk mencapai pada kesadaran diri yang sepenuhnya, roh tersebut niscaya perlu mengejawantahkan dirinya secara dialektis dalam berbagai realitas material. Tema filsafat politik merupakan momen dalam tahap perkembangan filsafat roh, tepatnya dalam tahap perkembangan roh objektif. Perkembangan roh objetktif ini terjadi dalam tiga tahap pula yakni hukum abstrak, moralitas dan kesusilaan. Roh/ide/kehendak yang berkembang itu akan mencapai kepenuhannya dalam tahap kesusilaan, yang mana di dalam tahap ini, roh akan melalui tiga fase perkembangan yakni keluarga, masyarakat sipil dan negara. Dalam negara inilah rasionalitas dan kebebasan inidividu menjadi mungkin dan tercapai; dalam negara pula, kebebasan individu menyatu dengan totalitas kebebasan yang absolut.
Hal yang tidak terpisahkan dari penjelasan dan uraian Hegel tentang kepemilikan tidak terlepas dari konsepnya tentang kehendak bebas. Hampir seluruh filsafatnya bertitik tolak atau berdasarkan paham kebebasan ini. Dari sinilah ia merumuskan filsafatnya sebagai sejarah ynag berkembang ke arah kemerdekaan. Hal ini bagi Hegel tampak dalam tradisi Kristiani yang terjadi dalam komunitas jemaat perdana. Di dalam komunitas ini, paham subjektifitas itu sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi. Manusia, dalam konsep ini dipandang sebagai persona yang bebas. Paham manusia yang bebas ini pula berkembang dan kemudian diteruskan dalam kenyataan sosial. Kenyataan tersebut bagi Hegel ditemukan dan tampak dalam revolusi Perancis yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte.


[+/-] ReadMore...

Need us. Just contact in: themodernphilosophy@gmail.com
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.

(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)