Get paid To Promote at any Location
Pertengahan Oktober 2009, saya coba mengikuti Paid-To-Promote.Net. Eh, ternyata tanggal 30 Oktober, sudah dibayar, walau hanya 0,93 dolar ke paypal saya. Program ini mempunya keteraturan membayar setiap tanggal 15 dan 30, berapapun nilai dolar yang kita dapat. Tak perlu nunggu 100 dolar seperti program lain. Bagaimana cara mengikutinya? Mudah saja, silakan register dengan referal saya. Jika Anda referal saya, maka Anda akan saya bimbing. Klik saja kata iklan tulisan "Get Paid to Promote at Any Location!"
berwarna pink di atas ini.

Ini contoh recehan dollarnya...

AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00

Hello Rakadewa,

chen zirong just sent you money with PayPal.

Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30

Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.

Sunday, March 15, 2009

Tiga Legitimasi Dasar Subjek Kekuasaan

(Tesis):
"Tiga legitimasi dasar subjek kekuasaan adalah legitimasi religius, legitimasi eliter -yang dapat dibagi ke dalam legitimasi aristokratis, legitimasi ideologis, legitimasi teknokrat- dan legitimasi pragmatis, dan legitimasi demokratis. Menurut etika politik modern negara legitim adalah negara hukum demokratis."

Legitimasi adalah kekuasaan yang mempunyai sebuah atau beberapa prinsip dasar yang menjadikannya absah atau diakui sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Legitimasi subjek kekuasaan mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk membuat undang-undang bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subjek kekuasaan yaitu: legitimasi religius, legitimasi eliter, dan legitimasi demokratis.
1. legitimasi religius mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor adi-duniawi
2. legitimasi eliter mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan. Paham legitimasi itu berdasarkan anggapan bahwa unutk memerintah diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki seluruh rakyat.

Legitimasi eliter dibagi empat:
a. aristokratis: berdasarkan pada kelas atau golongan masyarakat yang dianggap lebih unggul daripada masyarakat lain.
b. pragmatis: berdasarkan orang atau golongan atau kelas yang de facto paling cocok memegang kekuasaan (mis. militer)
c. ideologis: berdasarkan kepada ideologi yang dibangun oleh sekelompok orang.
d. Teknokratis: berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerinytahan masyarakan di zaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan oleh mereka yang ahli. Masyarakat dalam hal ini diandaikan tidak mampu menentukan nasibnya sendiri.
3. legitimasi demokratis: yang mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan rakyat

Negara hukum demokratis adalah negara yang menjadaikan hukum sebagai lembaga pengatur masyarakat yang normatif, dimana hukum sebagai dasar penggunaan kekuasaan harus berdasarkan pada persetujuan dasar warga negara.
Dari ketiga bentuk legitimasi diatas, legitimasi religius pada jaman sekarang tidak diterima lagi atau sejauh masih dapat ditemukan sisa-sisa kebudayaan pra-modern, legitimasi itu cepat kehilangan pengakuan. Maka persaingan terbesar legitimasi demokratis adalah legitimasi eliter. Legitimasi aristrokratis mirip dengan legitimasi religius, tidak sesuai dnegna pandangan dunia jaman sekarang sehingga mudah menghilang. Legitimasi pragmatis secara hakiki hanya bersifat sementara yaitu untuk mengatasi keadaan darurat. Kemungkinan tinggal dua alternatif yang pertama sesudah keadaaan darurat diatasi, kelompok aristokrat mundur. Yang kedua, kelompok tersebut tetap memegang kekuasaan yang kemungkinannya ada 2 yaitu: ideologis atau teknokratis.Suatu kepercayaan ideologis maupun kealihan khusus teknokratis tidak memberikan hak kepada kelompok yang memilikinya untuk menguasai masyarakat. Dengan demikian satu-satunya legitimasi yang sah adalah legitimasi religius.

[+/-] ReadMore...

Nilai Edukatif Kematian: Bukan ‘kata Akhir’

kematian, indah, edukasi, arti, mati, hidup, filsafat, heidegger, manusia, fana, surga, neraka

Heidegger mengatakan bahwa kesadaran akan kematian dan penerimaan kematian, yang berarti penerimaan keterbatasan membuat eksistensi manusia otentik, yaitu eksistensi yang bertanggung jawab. Dalam arti ini kematian mendidik manusi. Yang mendidik bukan kematian in se, karena kematian mencabu manusia dari dunia dan mengacam makna hidup manusia. Yang mendidik manusia adalah kondisi ‘dapat matinya manusia’ yang disadari oleh manusia. Yang mendidik manusia bukan pula kesadaran bahwa sesudah mati masih terus hidup. Manakah aspek-aspek edukatif kematian?
Pertama, kesadaran akan kematian mendorong manusia untuk berbuat guna menanda kematian yang tak terelakkan. Untuk mengatasi rasa tidak aman, fundamental eksistensi mansuai, yang secara terus menerus dihadapkan pada kematian, manusia telah menciptakan kebudayan dan peradaban. Orang menciptakan dunia yang lebih manusiawi di mana ada pangan dan papan untuk semua, di mana keadilan ditegakkan dan di mana manusia dapat hidup dan mengembankan identitasnya. Manusia berjuang melawan penyakit, ketidakadilan, alienasi yang membuat kematian menjadi suatu yang berat dan tak dapat diterima. Levinas juga menekankan fungsi edukatif kematian tersebut. Kematian mendorong manusia untuk membangun struktur-struktur yang menunda ancaman kematian dan yang memungkinkan manusia hidup lebih manusiawi di dunia.
Kedua, kesadaran akan kematian yang tak terelakkan, sementara menuntut diciptakannya suatu kebudayaan yang menunda kematian, juga menghapuskan kita untuk mempertanyakan makna pekerjaan manusia di dunia. Keharusan mati mengharuskan kita untuk mengakui nilai terbatas dari barang duniawi. Makna fundamental eksistensi manusia tidak dapat merupakan akumulasi dari kekayaan pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi semata. Segala sesuatu yang dimiliki akan ditinggalkan pada yang masih hidup, yang berbuat menurut kemauannya. Sartre mengatakan bahwa kematian adalah absurd karena seluruh eksistensi ditinggalkan sebagai jarahan di tangan orang lain. Kaum Marxis juga mengatakan bahwa hidup ini tak bermakna kalau manusia mencari makna eksistensi hanya pada milik pribadi, karena hal itu merupakan ekspresi suatu situasi alienasi manusia. Namun kematian tidak mengajarkan kesia-siaan dan kemu-baziran kepemilikian in se. Kematian mengajarkan bahwa harta yang digunakan secara eksklusif bagi kepentingan diri sendiri adalah kesia-siaan. Dengan lain perkataan, kematian menyinari makna positif harta benda, yaitu bahwa semua barang kebudyaan hanya memiliki makna kalau digunakan untuk meningkatkan martabat sesama. Barang-barang pada hakekatnya bukan barang yang harus dimiliki dan disimpan, tetapi realitas yang harus diberikan. “Barang-barang”, kata Lévinas, “tidak memanifestasikan diri sebagai sesuatu yang harus ditumpuk, tetapi sebagai sesuatu yang harus diberikan.”
Ketiga, menurut Lévinas, kematian mengajak manusia untuk meneruskan kehidupannya sendiri dan cinta kasih kepada sang anak. Anak adalah manusia yang besar lebih dari karya materiil dan kebudayaan. Pada manusia baru itu harus dinyalakan kepribadian dan cintakasih, melalui kata-kata yang diucapkan dan melalui cintakasih yang diberikan. hal itu memiliki prospek tak terbatas dalam masa depan manusia, karena setiap manusia dapat melaksanakan kembali karya itu dengan memperbaharui pengalaman manusia untuk selama-lamanya.
Keempat, kematian menisbikan segala peran dan status sosial. Kematian mengajarkan kesamaan absolut semua manusia, karena semua mengalami pengalaman maut yang sama. Semua kembali kepada debu tanah: semua manusia di hadapan kematian, tanpa pengecualian, sama-sama miskin. Juga di sini kematian mengajak kita melihat peran sosial sebagai pelanyaan untuk meningkatkan martabat yang lain dan mengembangkan kebersamaan. Kematian mengundang kita untuk membangun dunia yang lebih manusiawi di mana persamaan fundamental de fakto diakui.
Kelima, kematian mengalahkan egoisme dan kesombongan, kehendak untuk berkuasa dan kehausan akan dominasi. Kematian mengundang kita untuk bersikap toleran dalam berhadapan dengan yang lain. Kematian mengajak kita untuk memberi tempat kepada semua, karena tidak seorang pun mutlak dalam komunitas manusia. Perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang berkuasa dan yang sengsara dihapus oleh kematian.
Keenam, kematian memberikan kepada manusia suatu makna totalitas. Totalitas tidak berarti bahwa kematian merupakan bab terakhir sebuah buku yang telah selesai, atau ‘finishing’ bangunan baru yang telah selesai. Kematian mematahkan dan mengancam, maka dalam arti itu kematian in se bukanlah pemenuhan dan bukan pula totalitas. Kematian memberikan makna totalitas, artinya: pertama, kematian sebagai horizon kesadaran manusia memungkinkan manusia melihat seluruh hidupnya secara keseluruhan. Kedua, kematian sebagai akhir segala kemungkinan menghambat kita untuk mengubah makna hidup dan perjalanan hidup kita. Apa yang telah dibuat selama hidup dipasang pada figurnya. Dengan kematian kemungkinan habis dan kebebasan menjadi tidak berdaya untuk mengubah orientasi atau realisasi eksistensi.

[+/-] ReadMore...

E. Lévinas tentang “Egologia” dan “Yang lain”


Antropologia E. Lévinas dicirikan oleh dua gagasan fundamental. Pertama, kritik radikal terhadap ‘egologia’ yang didasarkan pada ‘cogito’ Descartes. Kedua, penegasan akan ‘yang lain’ sebagai paling utama, sebagai kebenaran fundamental manusia.
Setiap interpretasi manusia yang didasarkan pada pengutamaan ‘cogito’ dan orientasi pada dunia material, menurut Lévinas, menandakan keinginan akan kekuasaan dan dicemarkan oleh mitos totalitas. Hal itu berlaku juga bagi filsafat eksistensi yang menggantikan cogito (aku berpikir) dengan volo (aku berkehendak), ago (aku berbuat) dan possum (aku mampu), yang berada secara fundamental dalam kerangka egologia.
Pada tataran pengetahuan antropologi yang dikuasai oleh ego terungkap tendensi untuk mereduksi realitas pada rasio eksplisit. Terutama dalam idealisme, yang merupakan ekspresi langsung prinsip antropologi yang dikemukakan Descartes, realitas ‘dibentuk’ oleh rasio. Mengetahui realitas berate mereduksi segala hal dalam kesatuan yang sama dari system rasional yang dipikirkan oleh ego. Segala hal yang di luar dan berbeda harus direduksi dalam realitas rasional. Tujuan yang mau dicapai dengan interpretasi manusia demikian, adalah ‘Aku’ yang memperluas diri, sedemikian rupa sehingga mampu dengan satu pandangan atau dengan satu formula memahami realitas dengan segala perbedaannya, dengan mereduksi semua pada totalitas dan mengeliminir setiap perbedaan.
Pada tataran etis, interpretasi manusia tersebut didominasi oleh penegasan diri: realisasi-diri, afirmasi-diri dengan mengorbankan orang lain, mencapai tujuan dengan menggunakan yang lain sebagai sarana. Manusia menjadi penentu hukum dirinya sendiri, menilai semuanya dengan rasio.
Pada tataran sosial dan politik, gagasan tentang penegasan ego dan orientasi utama menuju realitas dunia, mencakup gagasan imperialisme. Hal itu menumbuhkan perang, yang tidak lain adalah usaha memperpanjang kekuasaan atas orang lain dengan menyingkirkannya dan memperbudaknya untuk tujuannya sendiri.
Pada tataran metafisik dan religius, antropologia egologia itu, dengan mengabikan perjumpaan dengan yang lain, menjadi tertutup dalam sejarah. Tak ada ruang bagi transendensi. Dimensi metafisika mengalamai atrofi. Ateisme merupakan konsekuensi dari interpretasi imanen manusia tersebut.
Egologia tersebut menempatkan totalitas pada pusat, yang setiap kali mencabut aspek-aspek lain dan berakhir dengan mengorbankan ‘yang tunggal’ pada sistem. Sejarah Eropa memberikan lukisan ketragisan mitos egologia, yaitu ego yang mandiri, yang mengutamakan hubungan dengan dunia dalam relisasi dirinya. Ketragisan egologia itu terwujud dalam darah dan penderitaan, dalam perang dank am konsentrasi.
Gagasan sentral kedua dari antropologi antarpersonal Lévinas adalah pengutamaan ‘yang lain’ yang dilukiskan dengan ‘epifani wajah’. Di sini terimplikasi dua hal fundamental: 1). Kepastian ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ membawa manusia kepada pengalaman metafisika dan religius; 2). Pengakuan ‘yang lain’ tidak hanya terjadi pada tingkat hubungan intim dan prive, tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif.
Yang lain mengungkapkan diri dan memanifestasikan diri (epifani). Kehadirannya sama sekali berbeda dari benda-benda objektif, yang kehilangan rahasianya manakala disinari dengan akal budi. Pengetahuan benda-benda adalah pengungkapan, yang tergantung pada inisiatif orang. Dengan pertanyaan yang kita ajukan benda-benda keluar dari persembunyiannya dan memberi pengetahuan pada kita. Berbeda sekali perjumpaan dengan manusia ‘yang lain’. ‘Yang lain’ bukanlah yang saya formulasikan dengan teori saya. ‘Yang lain’ menembus eksistensiku, menghadirkan dirinyak, menampak dengan sinarnya sendiri, menghadirkan diri dengan kepastian tak terbatah. Ia hadir sebagai benar-benar ‘yang lain’, yaitu sebagai pengada yang sama sekali tidak ditentukan oleh penalaran saya dan kerenanya juga tidak terselibkan dalam totalitas rasional. Tak bias tidak aku mengakui kehadirannya.
‘Epifani’ wajah adalah kehadiran langsung (dilambangkan dengan keterlanjangan wajah) dari ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’, yang menentang setiap bentuk totalitas.
Kepastian atau pengakuan akan ‘yang lain’ (pada taraf kognitif dan metafisik) tak pernah terpisahkan dari pengakuan konkrit yang lain dalam dunia, maka tak terpisahkan dari dimensi etika. Keterlanjangan wajah adalah juga kehadiran yang terpinggirkan, setiap manusia yang menghendaki menjadi ‘seseorang’ dihadapan yang lain, yang ingin diperlakukan sebagai ‘yang lain’. Pengakuan itu merupakan pengakuan objektif dalam keadilan dan kebaikan hati. Di sini letak perbedaan dengan G. Marcel dan Martin Buber yang terlalu membatasi diri pada tingkat pribadi.
Lévinas tidak hanya mengutamakan hubungan dengan yang lain, tetapi juga meletakkan superioritas Anda dalam hubungana dengan Aku. ‘Yang lain’ adalah dia yang melihat dari ‘yang lain’, yang menuntut dan memiliki hak untuk menuntut. Hubungan antarpersonal adalah secara fundamental asimetrik. Yakni memperlakukan ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ yang tidak sama dengan kiri saya.
Sebagaimana Buber dan Marcel, hubungan antarpersonal adalah tempat dimana ‘Yang Lain’, yaitu Allah, mewahyukan diri. Menemukan diri bertatap wajah dengan sesama, adalah juga menemukan diri dihadapan Yang Maha Tinggi. ‘Dimensi ilahi terbuka dengan berangkat dari wajah manusiawi’.

[+/-] ReadMore...

Need us. Just contact in: themodernphilosophy@gmail.com
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.

(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)