Get paid To Promote at any Location
Pertengahan Oktober 2009, saya coba mengikuti Paid-To-Promote.Net. Eh, ternyata tanggal 30 Oktober, sudah dibayar, walau hanya 0,93 dolar ke paypal saya. Program ini mempunya keteraturan membayar setiap tanggal 15 dan 30, berapapun nilai dolar yang kita dapat. Tak perlu nunggu 100 dolar seperti program lain. Bagaimana cara mengikutinya? Mudah saja, silakan register dengan referal saya. Jika Anda referal saya, maka Anda akan saya bimbing. Klik saja kata iklan tulisan "Get Paid to Promote at Any Location!"
berwarna pink di atas ini.

Ini contoh recehan dollarnya...

AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00

Hello Rakadewa,

chen zirong just sent you money with PayPal.

Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30

Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.

Saturday, December 12, 2009

Filsafat Rasionalisme: Logika Menentang Agama

Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Kali ini saya akan menggali lebih dalam tentang aliran kontra empirisme, taitu Rasionalisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)

MENGKAJI FENOMENA KESEHARIAN
Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasinalisme tersebut, sekiranya saya dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Dari salam satu tulisan yang saya temukan di internet,
“Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.” demikian ungkapan tersebut. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah?
Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?
Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?
Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan?
Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif?

Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.

Maka sebagai contoh ungkapan dari ‘Ibn Taimiyyah’ di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.
Kalau seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir” juga naif. Tak bermakna. Tak juga perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika pernyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir.

Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar.

Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan.

Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat.

Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan “super-executive” untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami.

Jadi apakah Logika dalam Agama = kebenaran spiritual ?!


2 comments:

  1. Ilmu logika adalah ilmu tentang tata cara berfikir sistematis-matematis yang murni yaitu tata cara berfikir yang tidak bergantung pada tangkapan langsung dunia panca indera.akal adalah alat berfikir sistematis - matematis yang dimiliki oleh manusia,sebab itu ada hubungan paralel antara akal dan ilmu logika artinya ilmu logika tidak akan pernah ada kalau manusia tidak memiliki akal.bila agama ditela'ah dengan logika murni maka kebenarannya akan terungkap secara konstruktif.
    Tetapi dalam wacana filsafat - sains kini istilah 'akal','logika' dan 'rasional' selalu dihubungkan dengan fakta - bukti empirik yang tertangkap mata sehingga yang 'rasional' makna pengertiannya malah menjadi 'yang mata telanjang bisa menangkapnya secara langsung'.sehingga yang tidak memiliki bukti empirik yang langsung tertangkap mata sering dikategorikan sebagai 'irrasional',sebagai contoh : konsep sorga dan neraka sering didefinisikan sebagai 'irrasional' hanya karena tidak bisa dibuktikan oleh bukti empirik yang tertangkap mata secara langsung.dan istilah 'akal' sering dipertentangkan dengan agama karena agama mendeskripsikan hal hal yang abstrak yang dianggap 'tidak masuk akal'
    Dan ini (pandangan yang datang dari dunia filsafat-sains itu) adalah penyimpangan terhadap konsep ilmu logika,sebab konsep ilmu logika adalah tatacara berfikir sistematis yang murni tidak bergantung sepenuhnya pada tangkapan dunia indera secara langsung. sebagai contoh : konsep sorga dan neraka adalah konsep yang rasional sebab bisa dihubungkan secara sistematis dengan keberadaan adanya kebaikan dan kejahatan didunia.dan coba kita pakai perbandingan terbalik : bila sorga dan neraka itu tidak ada maka si baik dan si jahat hidupnya hanya akan berakhir dikuburan,dan bila demikian yang terjadi maka kehidupan akan menjadi GANJIL dalam arti tidak rasional atau tidak sistematis.contoh lain : atheis sering memproklamirkan ideologinya berdasar prinsip 'rasional',padahal bila kita analisis : berpandangan atheistik sama dengan beranggapan bahwa segala keteraturan itu berasal dari 'kebetulan' padahal menurut logika akal segala keberaturan yang tertata secara sistematis itu hanya bisa berasal dari desainer dan mustahil datang dari kebetulan.sebab kebetulan mustahil melahirkan keteraturan (coba saja seluruh saintis diseluruh dunia melakukan eksperimen : apakah dari kebetulan bisa melahirkan keteraturan (?).
    Agama berisi konsep rasional bila manusia tidak melekatkan olah fikir akalnya selalu secara langung dengan bukti dunia inderawi,atau tidak mengebiri akalnya dengan keterbatasan dunia indera nya.sebab indera adalah hamba atau pembantu akal dan bukan sebaliknya.tapi filosof - saintis atheistik materialistik menjadikan dunia indera dan ‘bukti empirik’ sebagai 'raja' dan 'ukuran kebenaran' sehingga yang tidak terbukti secara empirik sering ditolak sebagai kebenaran.
    Jadi ada dua versi konsep ‘rasional’ : versi Tuhan/agama yang mendefinisikan pengertian ‘rasional’ sebagai sesuatu yang bisa difahami oleh tatacara berfikir yang murni sistematis tanpa ketergantungan mutlak kepada tangkapan dunia indera secara langsung,dan kedua : versi filsafat materialistik (kacamata sudut pandang filsafat yang bersandar pada prinsip bahwa yang ‘ada’/realitas adalah segala suatu yang tertangkap mata) yang mendefinisikan ‘rasional’ selalu pada bukti empirik-pada bukti yang tertangkap mata sehingga cara berfikir filsafat materialistik sebenarnya tidak murni lagi sistematis tapi menghamba kepada dunia indera (akal diletakkan dibawah indera).tapi anehnya mereka suka menyebut diri sebagai ‘kaum rasionalist’ sedangkan para agamawan sering distigmakan sebagai kaum yang ‘irrasional’,padahal agama selalu menuntut cara berfikir logika murni yang tidak mutlak bergantung atau menghamba kepada tangkapan mata yang langsung sebab derajat akal lebih tinggi ketimbang dunia inderawi.

    ReplyDelete
  2. Jadi agama di stigmakan sebagai ‘irrasional’ karena filosof-saintis materialistik melihat dan mengkajinya dengan menggunakan kacamata rasionalisme versi kaum materialist yaitu rasionalisme yang dibingkai oleh keharusan bukti yang tertangkap mata atau keharusan bukti empirik artinya bukan rasionalisme yang murni orientasi kepada tatacara berfikir sistematik sebagaimana yang dimaksud oleh kitab suci.
    Kesimpulannya : kita harus bisa membedakan secara signifikan definisi pengertian ‘rasional’ versi agama dengan ‘rasional’ versi sudut pandang materialist (yang lahir melalui wacana filsafat yang bersudut pandang materialistik) sebab itu adalah dua kubu pandangan yang amat jauh berbeda yang menghasilkan konsep kebenaran (rasional) yang berbeda.

    ReplyDelete

Need us. Just contact in: themodernphilosophy@gmail.com
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.

(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)