Difference and equation of philosophy, science philosophy and science; Four Philosophy Science question: characteristic, procedure, condition of, cognate status; Four dot look into science philosophy: consistent, presentation (exposition), discipline, criteriolog order second; Constructivist; Basis for erudite research: deductive and inductive; Logic: formal (material and shape) content.
Difference and equation of philosophy, science philosophy and science
Its equation: philosophy goodness and science and also science philosophy have same items object that is, human being, eternity and world. Evaluate about human being will bear human being philosophy. Evaluate about world bear natural philosophy. Evaluation about God and eternity will bear the infinite philosophy. Human being wandering in world have directionally (internationalities) to that good God in for in life, hence delivering birth ethics philosophy. Human being wandering that have desire to know and recognize, hence delivering birth science philosophy, confessed by its truth.
Its difference: philosophy is an effort thinked systematically, methodical and comprehensif-holistic to look for because inmost from a problem of to its roots. Philosophize to mean to think radically to find truth root by base. Science philosophy is an research of continuation about itself science to question the way of its acquirement, erudite knowledge base and ground, erudite knowledge marking so that that knowledge can be justified theoretically and reflective. Science is an study experience of physical world regularly and systematic pass/through perception process, subdividing, estimate, examination, verification, to increase mind. That science goes into effect public, having the basis for justification and continues to expand. Difference of Science and science philosophy: can be differentiated pursuant to its intensity. Science represents one of much knowledge and has the character of eruditely (knowledge scientific), while science philosophy domicile it reside in to the other science. Science philosophy (science of science) and represent criteriology order second. Basis for the truth of science is erudite thinked that is thinking inductive and deductive and also intersubjective. Its Meaning Intersubyektive of its truth rate is confessed by man of science humanity.
Science philosophy raise four question that is: characteristic: what differentiating erudite research with other research; Procedure what have to be gone through by man of science; Condition of kinds of what have to reach by erudite clarification; Cognate status: how cognate status of erudite laws or principles. Who study that thing? Clear that one who is handicap bounce not possible to study that thing is.
Science continue to expand and all kinds of, but remain to have four approach dot. Fourth of dot look into that is consistence; presentation (exposition); discipline; a [n directive both (critelogy order second). Consistent of its meaning remain to be relied on important erudite theory. Here science philosophy has duty for the elaboration of that broader implication from science expanding. Presentation (exposition): it’s meaning leave from argument (exposition) anticipation (tendency and presupposition) all mans of science to nature which does not change, having regularity in nature with whole its implication. Philosophy science duty is to determine principal method so that do not be trapped by at target and appliance. Certain discipline: its meaning science discipline of have conception and clear theory and analyses and classification so that there are erudite clarity, so that clear progressively benefit and meaning from various erudite theory and concept. An directive both ( Order criteriology Second): There is three knowledge level that is: [both/ second] that is knowledge analysis, after first storey; level that is explaining fact ( science / fact of explanation) and storey; level zero that is knowledge of fact. related/relevant Science philosophy at directive mount two ( second - order-criteriology).
Constructivist: knowledge woke up to the occurrence observation inferences perceived. Inferences: is afirmation to one or some proposes to other pursuant to understanding of that proposes relation which undoubtedly in character. Process construction knowledge of human being for example our construkst, our experience domain and our experience structure network. Constructivism says that knowledge of result human being is result of human being construction. Their Construction knowledge human is being through their interaction with object, environment and experience. Its figures is Jean Piaget, Vygotsky.
Logic: Study Structure and aqal prinsip. Studied by non by mistake or truth, but valid. Become logic is efficiency to think valid. Logic investigates mind laws. That investigation happened by elaborating human being mind elements. Idea of that human being consists of congeniality element (word), decision element (recapitulating element and sentences) (conclusion). Logic converse about congeniality, recapitulating and decision - verification or recapitulating. Logic consists of: Formal logic: that is respective of aqal form (syllogism). Material logic: (fill): study about prepositions, ideas, opinion
eBook Berkualitas di Seluruh Dunia, Murah bahkan Gratiss....Bisa dijual Kembali!!!
berwarna pink di atas ini.
Ini contoh recehan dollarnya...
AAderiau Balance History
Date Amount Note Balance After
Date: 2009-10-30 11:08:27 - $0.93 2009-10-30 Pay to paypal: dewa.gratia@gmail.com $0.00
Hello Rakadewa,
chen zirong just sent you money with PayPal.
Payment details
Amount: $10,93 USD
Transaction Date: Oct 30, 2009
Subject: paid-to-promote.net 2009-10-30
Philosophy is a game with objectives and no rules.
Mathematics is a game with rules and no objectives.
Theology is a game whose object is to bring rules into the subjective.
Wednesday, June 24, 2009
Difference and Equation of Philosophy, Science Philosophy and Science
Thursday, June 18, 2009
Filsafat Manusia: Teknologi Mendeterminasikan Manusia sebagai Penciptanya sendiri
TESIS POKOK FILSAFAT MANUSIA:
Proses teknologi menciptakan kebutuhan yang hanya dapat dipuaskan oleh teknologi. Teknologi mengubah masyarakat sehingga masyarakat tersebut harus menyesuaikan dirinya secara terbalik dengan perkembangan teknologi.
Di satu pihak teknologi membawa nilai-nilai manusia, di lain pihak teknologi menciptakan determinasi baru dalam kehidupan.
Pada konteks filsafat manusia, tesis ini hendak mengatakan :
Teknologi (modern) sebagai ciptaan manusia memiliki relasi tertentu dengan sang penciptanya (manusia), yaitu dapat semakin membantu, mempermudah, dan membangun kehidupan manusia atau dapat mengancam atau bahkan merusak manusia itu sendiri.
Penjelasan:
“Teknologi” tidak hanya berarti penerapan ilmu pengetahuan (tidak terpaku pada alat-alat) tetapi keseluruhan metode yang dicapai secara rasional dan memiliki efisiensi mutlak (dalam tahap perkembangan tertentu) dalam tiap kegiatan manusia. Perkembangan teknologi mengalami beberapa tahap: 1. tahap peralatan (berfungsi membantu organ-organ manusia), 2. tahap teknik energi (diciptakannya mesin sebagai sumber tenaga sebagai menggantikan kerja manusia), 3. tahap informasi (sebagai pengganti ingatan manusia untuk mengarahkan dan mengatur kerja mesin bagi manusia, juga informasi yang membantu mengorganisasikan hidup manusia).
Teknologi juga tidak lepas dari teknik dan struktur. Dalam hal teknik, teknologi mengandung alat, ketrampilan, serta pengetahuan. Dalam hal struktur meliputi ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu asumsi-asumsi dasar tentang kenyatan dunia. Dengan demikian teknologi tidaklah netral secara politis, tidak berada dalam vakum, tetapi dalam struktur ekonomi, sosial, budaya.
Teknologi (modern) bersifat artifisial (non alamiah), otomatis (dengan sendirinya dan teknis matematis), kemajuan (pertambahan aplikasi, daya guna), monistis (teknik adalah “metode kerja” dengan berdasarkan hubungan bersama dari berbagai teknik lingkungan yang bermacam-macam, seperti industri dan keuangan, olahraga, kesehatan, dan pendidikan, dll), universal (kesatuan terjadi baik dalam lingkungan geografis maupun lingkungan perbedaan kualitatif tindakan-tindakan manusia, mis: teknologi komunikasi, otomotif, teknologi pertanian mengarungi alam, mensiasati iklim, maupun generasi). Kemudian teknologi juga memiliki otonominya sendiri, disebut otonomi teknik. Arti istilah ini adalah teknologi dapat berdiri, berkembang, dan memiliki kandungan potensi untuk mempengaruhi pengguna masuk ke dalam mekanisme yang ada padanya hingga menciptakan bentuk-bentuk ketentuan baru (mis. teknik transportasi menciptakan iklim jadual bagi pemakai jasanya).
Maka, oleh potensi otonomi yang mampu mengkondisikan penggunanya, proses (perkembangan) teknologi menciptakan kebutuhan manusia sejauh radius pengkondisian teknologi yang bersangkutan. Begitu teknologi diciptakan, maka suatu struktur permintaan yang berangkat akan terbentuk: dibutuhkan suku cadang, pengetahuan dan ketrampilan, serta teknologi baru. Artinya, kebutuhan-kebutuhan yang muncul akibat efek teknologi berjalan dalam koridor relasi manusia dengan teknologi tersebut. Misal:
- 1. untuk menjawab tantangan global maka sistem pengajaran disusun, standar pendidikan ditingkatkan, kaderisasi tenaga pengajar.
- 2. ketika transjakarta muncul lantas diperlukan tenaga supir, keamanan, sirkulasi karcis, hingga penambahan koridor baru. Dengan demikian teknologi menciptakan ketergantungan berefek. Aplikasi yang muncul kemudian tidak bisa lepas dari pengaruh sebelumnya dan masing-masing berdiri dalam kesatuan sistem.
Misalnya,
- Siaran bola langsung dari Inggris di Indoensia membuat orang mesti bangun dini hari, efeknya adalah kinerja kerja keesokan harinya (keadaan jelas berbeda dengan lingkungan geografis yang semakin dekat dengan tempat berlangsungnya pertandingan).
- Polusi udara dari kendaraan bermotor atau asap rokok lambat laun memunculkan undang-undang anti polusi (sebagai teknik kontrol atasnya) sehingga pemilik kendaraan bermotor: 1. membeli kendaraan yang ramah lingkungan, 2. menguji emisi gas kendaraannya dan semakin perhatian dengan kesehatan kendaraannya agar sesuai dengan aturan yang berlaku, atau 3. mungkin semakin was-was dengan petugas tramtib (sebagai perwujudan teknik pengorganisasian polusi) ketika memilih tempat yang tepat untuk merokok.
- Teknologi komputer dan teknik informasi yang masuk dalam lingkungan industri dan perkantoran membuat orang giat untuk menyesuaikan kemampuannya secara formal/informal guna masuk dalam persaingan lowongan kerja dan memperoleh penghasilan.
- Teknologi Barat membawa nilai-nilai manusiawi atau bahkan mengganggunya. Rasionalitas dalam teknologi yang berarti melihat pengalaman sebagai masalah yang dapat dianalisis, dan akibat-akibatnya dapat diukur dan dimanipulasi. Hal ini kontras terhadap cara berpikir Timur yang menekankn makna, mitos, dan simbol.
- Teknologi Barat juga menekankan efisiensi, produktivitas dalam perhitungan seksama input dan output. Sedangkan efisiensi bagi Timur diukur menurut estetik, rekreasional, persaudaraan.
- Teknologi Barat menekankan problem-solving dalam pendekatan terhadap alam dan peristiwa. Sedangkan Timur mendekatinya secara kontemplatif dan keselarasan alam. Dapat dilihat bahwa Barat menekankan penguasan terhadap alam sedang Timur memberi porsi kepada harmonitas hidup dengan alam.
Wednesday, June 17, 2009
Proyek Harmonisasi Korelasi Iman (Wahyu) dan Rasio (Akal)
Dalam usaha untuk mencari kaitan atau korelasi antara agama (syari’at) dengan filsafat, Ibn Rusyd kemudian menghasilkan tiga karya besar, antara lain: Hubungan antara Filsafat dan Syari’at (Fals al-Mafa fi ma bain-a I’Hikmah wa’l syari’ah mina-‘l- Ittishal); Penyingkapan tentang metode penalaran dalam Doktrin Agama (al-Khasyf ‘an Manhij al-‘Adilah fi’ ‘Aqa-id al-Millah l, serta Kerancuan dalam Kerancuan (Tahafut al-Tahafut).
Prinsip-prinsip umum Ibn Rusyd tentang korelasi antara agama dan filsafat.
1). Syari’at atau agama mengharuskan Kegiatan Berfilsafat
Dia mengawali filsafatnya dengan pembuktian bahwa Syari’at (al-Qur’an dan Hadis ) mengharuskan penalaran filsafat,
sebagaimana ia mengharuskan penggunaan demonstrasi logika-rasional (burhan manthiqi) untuk mengenal Allah dan segala ciptaan-Nya. Ibn Rusyd mencoba melakukan sebuah I’tibar yaitu penalaran untuk mencari tahu sesuatu yang tidak diketahui (majhul) dari sesutu yang diketahui.
Menurutnya, bila agama mengharuskan penalaran filosofis, maka diperlukan penakwilan atas nash-nash yang pada lahirnya tidak sesuai dengan akal, tapi tetntunya dengan syarat agara metode penakwilan atau ta’wil tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Maka segala sesuatu yang dicapai melalui penalaran logis , tapi bertentangan dengan makna lahir dari agama, maka makna lahir ini harus ditakwilkan, agar tidak terjadi benturan antara agama dengan rasio. Ditekankan juga bahwa sebuah upaya menakwil teks berdasarkan penalaran logis itu bisa saja bertentangan dengan sebuah ijma (kesepakatan umat) dalam persoalan-persoalan teoritis, selama kesepakatan itu tidak mungkin terealisir secara meyakinkan dari seluruh ulama di sepanjang masa. Jadi, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: akal tidak mendustakan Syari’at atau sebaliknya.
2). Makna Esoteris (Bathin) dan Eksoteris (Zharir) dalam Syari’at
Menurut Ibn Rusyd, latar belakang munculnya nash-nash al-Qur’an dan Hadits yang di satu sisi mengharuskan suatu penakwilan untuk mengetahui pengertian-pengertian esoteris di dalamnya, dan nash-nash yang yang pada sisi lainnya menunjukkan makna eksoteris. Dalam mengetahui tingkat pemahaman manusia atas nash-nash Qur’an, ia membaginya dalam tiga kelompok:
- Al-Khithabiyyah (kalangan retoris), yakni mayoritas publik yang meyakini kebenaran melalui dalil-dalil retorika atau ceramah (khitabiyyah). Di sini adalah suatu pemahaman terhadap Kitab Suci secara liberal.
- Ahl al – Jadal (Kalangan dialektis), dan di antara merka adalah tokoh-tokoh Ilmu Kalam (mutakallimun, teolog). Tingkatan mereka lebih tinggi di atas orang awam tetapi belum sampai pada tingkat ahl-burhan.
- Ahl- Burhaniyyun (kalangan Falasifah). Kelompok ini berpendapat bahwa harmonisasi antara agama dan filsafat- menduduki posisi tertinggi.
Tingkatan-tingkatan fitrah dan kemampuan akal yang membagi manusia tiga golongan ini, secara pasti mengharuskan adanya perbedaan dalam hal metode memahami dan menangkap ajaran-ajaran agama. Bagi masyarkat awam dan setingkat, termasuk kaum dialektis, yaitu orang-orang yang belum mencapai tingkat penakwilan yang benar, metode yang tepat adalah mengimani nash-nash zharir, serta lambang-lambang dan tamsil-tamsil yang berkaitan dengannya. Tetapi bagi para cendikiawan ahl-burhan yang harus dilakukan adalah mengimani makna-makna esoteris (al-khafiyyah).yang mengungkapkan diri melalui lambang-lambang dan simbol-simbol yang mendekatkan pemahaman rasio, dan untuk mencapai langsung hakekat kebenaran itu diperlukan takwil atas nash-nash tersebut.
Menurutnya sebagian nash-nash agama mempunyai makan zharir yang tujukan untuk orang awam, sedang sebagian lagi mempunyai makna bathin, bersifat falsafi, dan dikhususkan kepada kalangan elit. Makna terakhir ini menampakkan dirinya melalui proses penakwilan atau penafsiran metoforis yang dilakukan oleh ahlinya. Ini berarti bahwa Qur’an dan Hadits benar-benar memuat beberapa pemikiran filosfis dan penggalian pemikiran-pemikiran ini wajib bagi orang yang mampu dan bagi orang yang memang ahlinya.
Di sini perlu ditekankan bahwa adanya nash-nash dalam Syari’at yang wajib ditakwilkan itu merupakan isyarat atau seruan agama untuk melakukan penalaran berfilsafat, karena tak mungkin menangkap makna-makna esoteris tersebut tanpa melalui penalaran filosofis.
3). Tata Aturan dan Kaidah Ta’wil
Ibn Rusyd memandang penting takwil ini sama-sama demi kebaikan Syari’at maupun filsafat. 1). Makna lahir atau eksoteris dari suatu nash merupakan makna yang sebenarnya yang dimaksud, dan bukan yang lainnya. Maka tidak bisa ditakwilkan lagi. 2). Makna lahir dari suatu nash bukanlah arti sebenarnya yang dimaksud, tetapi hanya sebagai perlambang dan simbol bagi kandungan makna atau pengertian yang dimaksudkan secara. 3). Makna lahir merupakan simbol atau perlambang bagi sebuah makna yang tersembunyi atau esoteris. Jenis makna ini tidak boleh dipahami dalam pengertian lainnya semata, tapi harus ditakwil dan dijelaskan melalui penakwilan yang berlaku bagi semua orang. 4). Makna lahir merupakan sebuah perlambang atau simbol. Namun bagi kaum awam perlu diberikan dalam bentuk tamsil atau perumpamaan yang lebih mendekati tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka. 5). Makna lahir merupakan simbol atau perlambang bagi makna yang tersembunyi, tetapi tidak jelas bahwa ia adalah simbol kecuali dengan pengetahuan mendalam.
Ibn Rusyd selanjutnya mengatakan bahwa untuk menghindari penafsiran atau ta’wil yang semena-mena dan menghebohkan maka kaum awam hendaknya menjauh pendekatan penakwilan. Maka, untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi buruk ini, yang bisa berakibat fatal bagi persoalan harmonisasi antara agama dan filsafat, secara umum, seharusnya tidak mengungkap secara terbuka masalah penakwilan dan hasil-hasilnya, lebih-lebih melakukan pembuktian demonstratif (burhani) bagi orang-orang yang bukan ahlinya. Peru pula menjauhkan ta’wil dari tulisan retorik dan dialektika yang dikonsumsi oleh awam. Dengan demikian, kebahagiaan masyarakat awam terletak pada kesungguhan mengimani nash-nash lahir semata, tanpa harus menyelam ke dalam makna-makna esoterik. Sebab tujuan mereka adalah meramal. Bagi kalangan elit, tujuan utama mereka adalah keduanya sekaligus, yaitu mengetahui dan beramal. Kebahagiaan mereka terletak pada penakwilan nash-nash yang memang harus ditakwilkan untuk mengetahui makna-makna yang tersembunyi dan yang dimaksudkan secara hakiki. Bagi Ibn Rusyd, tak satu pun dalam al’Qur’an maupun Hadits nash-nash yang disebut mutasyabihah, tidak bagi kalangan ulama yang mendalam pengetahuannya, yang berkewajiban menakwilkan nash-nash yang dianggap mutasyabihat ini, juga tidak bagi kaum awam dan yang setingkat dengan mereka, yang diwajibkan mengimani dan mempercayai semua arti lahiri dari nash-nash agama tersebut tanpa membahas dan memikirkan penakwilan. Hal kalangan mutakallimun-lah yang merasakan dan mengalami adanya nash-nash jenis mutasyabihah. Mereka ini lebih tinggi dari kaum awam namun belum setingkat dengan kaum falasifah.
Pandangan Ibn Rusyd yang tegas ini berimbas pada proyek harmonisasi antara wahyu dan rasio yang canangkannya, dengan menandaskan adanya nash-nash agama yang harus ditakwilkan oleh ahl-u ‘l-burhan (yakni kaum falasifah), karena dalam pandangannya mengartikan nash-nash tersebut menurut makna lahiriahnya bisa berarti kekufuran. Sementara kaum awam harus mengartikan nash-nash itu berdasarkan makna lahiriah, dan kalau mereka menakwilkannya maka itu bisa berarti juga kekufuran. Ibn Rusyd sendiri sadar bahwa ia dan kaum falasifah pasti akan mendapat hujatan terhadap hikmah maupun terhadap Syari’at. Ibn Rusyd mengecam para teolog, terutama kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah, yang menetapkan penakwilan-penakwilan dalam karangan-karangan mereka yang banyak tersebar di antara orang awam. Dan ini menjadi mereka terpecah belah dan mengoyak-ngoyak keutuhan Syari’at. Ibn Rusyd sendiri tidak lupa bahwa dalam kritiknya ia puna menyadari bahwa sering mengalami kejatuhan dalam hal itu. Hal itu dimaksudkannya untuk menghindari resiko bagi kaum awam di kemudian hari.
4. Batasan Kemampuan rasio dan Kaitan Antara Wahyu dan Akal
Persoalan ini banyak dibicarakan pada awal abad pertengahan seperti Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Anselm dan Abelardus dari kalangan nasrani. Tinjauan atas problematika hubungan antara wahyu dan akal, sudah dimulai, dan hal itulah yang dibuat oleh Ibn Rusyd. Bagaimana pun pengakuan dan penghargaannya kepada akal dan kemampuannya untuk mengetahui, Ibn Rusyd menyatakan bahwa ada persoalan-persoalan yang tidak mampu ditangkap oleh akal. Oleh karena itu akal harus kembali kepada ajaran wahyu sebagai pelengkap bagi pengetahuannya, karena segala sesuatu yang tidak mampu diketahui akal, Allah akan melimpahkan kepada manusia pengetahuan melalui wahyu. Persoalan-persoalan yang tidak mampu dipahami dan diketahui oleh akal menurut Ibn Rusyd adalah sebagai berikut: Pengetahuan tentang Allah dan masalah kebahagiaan dan kesengsaraan manusia di kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat kelak, termasuk sarana untuk mencapai kebahagiaan dan hala-hal yang menyebabkan kesengsaraan tersebut. Ibn Rusyd melihat kenyataan bahwa para filsuf (Yunani) menganggap kelangsungan hidup dan kebahagiaan manusia di dunia ini dan di akhirat tergantung pada nilai-nilai mulia yang sifatnya teoritis-spekulatif. Artinya, persoalan-persoalan tersebut tidak akan diketahui dengan jelas hakekat dan pastik kecuali melalui wahyu. Karena filsafat dimaksudkan untuk memperkenalkan serta mengajarkan serta mengajarkan kepada sebagian manusia bagaimana mencapai kebagiaan, yakni mereka yang telah memiliki kesiapan dan kemampuan untuk mempelajarinya. Sedangkan Syari’at ditujukan untuk mendidik dan mengajarkan manusiapada umumnya.Dalam karyanya Fashl al- Maqal, Ibn Rusyd menegaskan ketinggian posisi akal dengan kemampuannya mencapai kebenaran-kebenaran dalam bentuk-bentuk simbol dan perlambang-perlambang kepada khalayak awam. Dana kebenaran tersebut mampu dipersepsi oleh akal seorang filsuf secara murni dan tanpa ragu-ragu. Maka, makna-makna agama terbagi kepada makna lahiri (eksosteris), yang berbentuk pengungkapan-pengungkapan metaforis dan simbolik atas makna-mkana batini (esoteris) dan kepada makna batini atau esoteris yang hakekat kebenarannya hanya dicapai oleh kalangan falasifah (ahl-u ‘l-burhan).
Untuk memahami proyek harmonisasi Ibn Rusyd ini kita perlu memperhatikan apa minat atau tujuan (intensi) masing-masing karyanya. Kitab Fashl al-Maqal ma bain-a ‘l-Hikmah wa-l Syari’ah min-a ‘l-Ittihsha ditulis dengan satu maksud utama, yaitu, seperti ditunjukkan dalam judulnya, untuk menjelaskan korelasi atau titik temu antara filsafat dan agama, dan mengupayakan harmonisasi antara keduanya berdasar pada titik temu ini. Sementara Kitab al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah ditulis untuk melakukan penelitian tentang “makna lahiri dari doktrin-doktrin agama yang ditujukan kepada khalayak umum, dan untuk itu kita harus mengkaji secara sungguh-sungguh tujuan pembuat undang-undang (syari’at) sesuai keterbatasan dan kemampuan kita. Sedangkan Tahafut al-Tahafut ditulis untuk mengkritik karya Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah. Namun dalam kedua buku terakhir tidak terlalu mengupas mengenai masalah harmonisasi antara agama dan filsafat serta korelasi antara keduanya, yang sebenarnya merupakan tujuan utama penulisan Fashl al-Maqal. Maka kedua karya terakhir harus ditafsirkan atau dinterpretasikan secara mendalam.
Ibn Rusyd juga berbicara tentang doktrin kenabian dan mukjizat. Dalam konteks kritiknya atas al-Gazali yang mengutip falasifah, Ibn Rusyd menyebutkan bahwa mukjizat adalah perkara yang mungkin dalam dirinya, dan tidak bertentangan dengan hukum alam dan rasio, dan faktor-faktor yang disebut Ibn Sina sebagai sesuatu yang melahirkan suatu mukjizat adalah hal-hal yang mungkin dan wajar terjadi, dan bahwa tidaklah semua yang menurut hakekat dan tabiatnya mungkin terjadi dapat dilakukan oleh manusia, dan ini ditunjukkan sendiri oleh dalil inderawi, observasi dan kenyataan realitas. Kedatangan Nabi membawa mukjizat, adalah mungkin bagi dirinya sendiri, kendati pun tertutup untuk manusia biasa. Menurut Ibn Rusyd, mukjizat merupakan salah satu sendi utama Syari’at, dan karena itu siapapun yang menjauhkan diri dan meragukannya harus diberi peringatan dan sanksi.
Di sini bisa disimpulkan bahwa pandangan-pandangan Ibn Rusyd yang terdapat dalam al-Khasyf dan Tahafut al-Tahafut yang terkesan tidak rasionalis, misalnya ia menempatkan wahyu di atas rasio serta menuduhkan rasio kepada wahyu, semua dimaksudkan untuk menenangkan perasaan para tokoh agam bahwa ia tetap bersama mereka. Namun, Ibn Rusyd tidak keluar dari keberadaanya sebagai rasionalis, bahkan menegaskan secara lebih tajam sikap rasionalisatnya, ketika ia menadaskan bahwa sesungguhnya setiap Nabi adalah seorang faylasuf. Ia pun tetap konsisten pada pandangan-pandangannya, terutama dalam pembagian tingkatan manusia menajdi beberapa kelompok sesuai dengan kesiapan dan kemampuan mental dan akal mereka; di antara mereka kelompok awam dan kelompok elit, yang masing-masing mempunyai pendekatannya sendiri dalam menyampaikan ajaran Agama. Dengan ini tercapailah harmonisasi antara akal dan wahyu, antara filsafat dan agama, yang masing-masing mempunyai maksud dan tujuannya sendiri dan agar tidak terjadi benturan satu sama lain.
Bagi Ibn Rusyd, kalangan elit (filsuf) tidak perlu menjelaskan kepada publik hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan-pengetahuan rasional yang tidak dijelaskan oleh agama. Menurutnya, dalam mencari makna realitas, ada hal-hal yang harus dikembalikan kepada wahyu karena rasio tidak mampu mengetahuinya, maka yang ia maksud adalah dengan rasio atau akal yang dikatakan tidak mampu mempersepsi persoalan-persoalan tersebut ialah rasio yang berproses dalam penalaran, bukan akal yang seorang Nabi yang juga merupakan seorang failasuf yang memperoleh pengetahuan tentang persoalan-persoalan ini melalui Akal Aktif.
We will give you Free, some comprehensive theses all about philosophy.
(Anda ingin mendapatkan tesis-tesis komprehensif tentang filsafat lengkap dengan penjelasannya. Gratis! silahkan kirim email anda di themodernphilosophy@gmail.com !)